Merah Putih. Dan cinta kita seperti Indonesia :D |
16
Agustus 2015. Mungkin bagi sebagian orang, mendaki Sibayak itu hal yang sudah
biasa, bahkan bisa dibilang sudah seperti main ke mall. Mungkin karena sudah
ada jalur wisatanya, jalurnya sudah diaspal dan track pendakian yang tidak terlalu sulit. Tapi... bagi kita. Dalam
tulisan ini biarkan aku menyebutkan tokoh utamanya sebagai KITA, karena aku
tidak sendiri. Bagi kita, ini adalah perjalanan yang luar biasa adanya. Niatan
merayakan dirgahayu Indonesia di puncak Sibayak akhirnya terealisasi.
Ceritanya
aku sudah pernah mendaki Sibayak bersama teman-teman se-organisasi Pers
Kampus-ku. Kali ini ingin mendaki dengan orang yang berbeda, yang pasti suasana
dan rasanya beda. Katanya, kalau kalian ingin menilai sifat seseorang maka
ajaklah dia mendaki. Kalau ingin mencari tahu jati diri, ajaklah bertualangan
ke alam. Jati diri itu apa sih? haha
Kita
sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, bahkan sebelum memasuki bulan Agustus.
Kita berencana ikut mendaki bareng anak Mapasta (Mahasiswa Pecinta Alam
Semesta) UIN SU, awalnya fix, tapi
nyatanya sebelum hari-H mereka nyatakan batal. Akhirnya kita minta referensi
teman lain yang mau mendaki juga. Dan akhirnya ada juga. Kita sepakat nunggu di
simpang pos. Simpang pos ini tempat dimana pemberhentian bus sutra yang akan
membawa penumpang ke simpang brastagi. Jadi, kita sudah siap dari pagi, nunggu
di simpang pos sampe siang. Lama menunggu kita makan sate, kenapa sate aku
masukin ke tulisan ini? Ya pokoknya sate itu spesiallah bagi kita hehe.
Lama
menunggu akhirnya mereka datang. Semuanya laki-laki, masih muda-muda, yang
jelas cuma aku cewek sendiri. Orang
bilang, bagi pendaki semua orang yang ketemu di alam itu adalah keluarga. Oke
baiklah menurutku itu benar. Beberepa menit menunggu bus Sutra, hujan deras
turun. Kenapa hujan juga aku masukin ke tulisan ini? Karena hujan lebih spesial
dari sate. Bagi kita, hujan adalah cinta sihiiyy.
Saat
bus sutra datang. Gilaaaaa... semua berbondong-bondong mau masuk ke dalam bus,
bahkan yang naik ke atas bus juga gak kalah banyak, tapi karena kegesitan kita,
kita duduk anteng di dalam bus walau sempit-sempitan karena mangku tas carriel.
Ongkos naik bus sutra ke simpang Brastagi Cuma Rp. 10.000,- kok.
Belum
sampai ke simpang Brastagi, rombongan yang kita tunggu di simpang pos tadi
malah ganti jalur, katanya mereka mau ngambil air ke sidebu-debu. Yah,
kemanalah tuh, pokoknya kita pisah sama mereka. So, asli akhirnya kita beneran jelalah ini sendiri. Aku sih santai,
ada dia kok di sebelahku. Haha gayanyaaaa.
Karena
malu bertanya sesat di jalan, kita nanya-nanya sama penumpang yang kesannya
macam mau mendaki juga di dalam bus itu. Dan nemu deh, akhirnya kita bisa
bareng mereka. Sampai di simpang Brastagi, kita naik angkot lagi bareng mereka
sampai di posko satu Sibayak. Saat itu sudah sekitar jam 8 gitulah, lagi lagi
hujan menemani.
Seperti mimpi kita, akhirnya gelang kita ikut muncak :)) |
Lalu
kita mulai pendakian, ini beneran. Jalan yang mendaki membuat nafas sedikit
tersengal, tapi ini belum apa-apa, teman baru yang kita temui di bus tadi malah
keseringan jedah. Kayaknya karena dia seorang perokok. Iya, makanya jangan
ngerokok. Gak ada untungnya tahu ngerokok itu, malah buat susah diri sendiri
dan sekitar saja.
Setibanyanya
di posko terakhir kita pisah sama itu rombongan, karena kita mau ketemu sama
pendaki lain, teman dari temannya kami. Katanya dia mau nyediain tempat
mendirikan tenda. Kabar-kabarnya kalau naik tanggal 16 pasti sudah penuh lahan
untuk mendirikan tenda. Yaaaa, setibanya di atas memang begitu. Jadi kita
mendirikan tenda di kaki gunung bersama teman-teman lain yang juga baru dikenal
saat itu. Pendaki yang baru kami kenal ini sudah akrab nian dengan Sibayak,
kalau nyebut namanya saja semua orang kayaknya kenal. Namanya itu aku lupa,
hehe maklum sudah kepala dua. Kalau saja aku pengingat yang baik, mungkin aku
tidak akan menuliskan ini.
Malam
semakin larut, hujan perlahan menimpali kulit, dinginnya menohok sampai ke
tulang. Menggigil tak menentu, berasa masuk ke dalam kulkas, bedanya ini badan
tak kunjung beku. Karena hujan semakin larut semakin menderas, maka kita
menyegerakan mendirikan tenda. Ada yang membuatku haru saat prosesi mendirikan
tenda ini. Haru lihat kamu semangat banget masang tendanya. Aku ini cewek
sendiri, yang aku bisa perbuat cuma celingak-celinguk, palingan cuma
bantu-bantu ambil ini ambil itu. Aku mah bisanya merhatiin kamu aja, serius
banget sih. Kamu tuh kalau serius gemesin tauu (*maap ya pemirsah, rada alay
paragraf ini. Maklum lagi berbunga-bunga)
Selesai
masang tenda, kita makan. Tahu makan apa? Kita makan kentang sambal manis ala chef Nesya. Ciyee yang gak bisa dibedain
antara laper dan doyan. Kita sudah sepakat makan gak pakai sendok, biar romatis
apalagi sambil lihat senyummu yang manis. hahah
Kalian
tahu bagaimana suasana Sibayak malam itu? Asli seperti kibotan orang nikahan. Seriusan loh, mereka karaokean, nyanyi
lagu-lagu khas Medan lah. Tinggal cari mantennya saja. Seperti yang aku bilang
di awal, Sibayak itu sudah termasuk tempat wisata. Di kaki gunung Sibayak sudah
tersedia warung yang menjual berbagai macam kebutuhan pendaki. Termasuk
gorengan panas juga tersedia di sana. Nge-carge
sudah bisa, yang harus selalu kita ingat: dimanapun tempatnya, tidak ada yang
gratis haha.
Sudah mirip anak gunung belum? *taken by my day nih :p |
17
Agustus 2015. Karena kita niatan mau menikmati sunrise di puncak Sibayak, kita gerak dari bawah sekitar pukul
empat pagi. Kalian pernah melihat kemacetan di Jakarta? Aku rasa ini lebih
parah, kita malah geraknya uda kayak siput, bukan perlahan tapi pasti, tapi
entah ya. Anehnya bukan macet karena apa, malah macet karena yang di depan
susah jalan karena takut sama becek *iuuhh. Asli rame banget.
Oh
iya, untuk naik ke atas, kita ditemenin lagi sama teman baru. Karena teman kita
di tenda sudah biasa mendaki, mereka lebih milih tidur, katanya kita disuruh
duluan lah, pintar-pintarlah kan yang ke atas rame hoho baiklah. Sama teman
baru ini, kita diajak mendaki di jalur baru, pokoknya cuma ada kita deh yang
mendaki lewat situ, berasa mendaki gunung Everest lah haha. Cuma beralatkan
senter gak seberapa di tangan, kita berharap langit berbaik hati malam itu.
Tapi tetap saja langit sedang ngambek,
tak memperlihatkan bintang-bintang pada penghuni bumi. Sayangnya hayalan kita
bisa menikmati taburan bintang di puncak Sibayak saat itu gagal. Dan saat tidak
ada bintang, niscaya tak akan ada sunsrise.
Huihhh malangnya...
Romantisnya cukup? |
Tapi
kita tetap melakukan perjalanan dengan seksama *dihh seksama. Tetap
bergandengan tangan, bahu membahu dan saling menyemangati. Memandang ke depan
tanpa melihat lagi ke belakang, karena masa lalu sudah jauh tertinggal.
#quotehampirgagal
Gimana
alur pendakian kita itu susahlah dideskripsikan, mulai dari terpelset yang
ngakibatin tanganku nindihin lumpur, sampai kaki kelelep kubangan. Untungnya
ada kamu lah yang bersedia nyodorin celana kamu untuk alas bersihin tanganku
dari lumpurr wuihh so(k)sweet kali :D
Karena Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa, termasuk Bangsa-bangsa yang sedang jatuh cinta. Seperti kita :)) |
Nah,
masuk ke tujuan kita mendaki. Menikmati kemerdekaan di puncak Sibayak. Kita
nyebutnya Sibayak Raya. Setelah perjalanan terjal dan sampai ke puncak, Kita ngerasayain
rasanya benar-benar merdeka,. Sebelum matahari yang tak terlihat itu
benar-benar meninggi, semua pendaki saling mengacungkan bendera yang mereka
pegang masing-masing ke atas langit, serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya,
coba bayangin gimana merindingnya aku saat itu. Tapi sebenarnya kenapa kita
selalu merasa merdeka hanya di hari ini, kenapa saat ini saja kita merasa
kemerdekaan adalah hak segala bangsa? Kamu bisa jawab?
Perbincangan menunggu pagi, bersamamu. |
Terus,
yang lucu dari kita, kita duduk di puncak sambil cerita-cerita dari pertama
kenal sampai akhirnya khayalan-khayalan yang orang bilang gak mungkin jadi
nyata. Kita belum mau foto-foto. Kita nunggu sampai puncak sunyi, hahah. Kita mah
gitu, kan gak seru aja foto-foto dibaground-in
orang. Pokoknya nunggu moment lah. Oh
iya, kalian gak nanyak kemana teman yang bawa kita ke atas itu? Iya kita juga
gak tahu, pokoknya dia nyuruh kita naik ke arah puncak paling tinggi, setelah tuh
dia ngilang. Gak paham deh sama prinsipnya dia, fiuuhh. Tapi makasih deh
pokoknya kita sudah bisa sampai di puncak dengan luar biasa perjuangannya.
Meski tak ikut upacara di bawah, HORMAT dari atas ya teteppp :)) |
Sekitar
pukul delapan, upacara bendera dimulai. Upacara digelar di dekat kawah, bukan
dipuncak tempat kami bertandang. Jadi, kita cuma bisa menikmati upacaranya dari
atas, kita tetap ikut hormat dan nyanyi lagu Indonesia Raya. Aku cinta
Indonesia dan kamu *loh hoho.
Ada
lagi yang seru, yang terjadi di luar dugaan kita. Ternyata Reza, abang
kandungku juga naik Sibayak saat itu. Dia berdua ama temennya naik kereta (read: sepeda motor) jadi beruntungnya
kita, saat mau turun ke bawah dari posko terakhir, kita diantar dengan cara
dilangsir. Bukan cuma sampai pos satu loh, tapi sampai simpang Brastagi.
Kereeen kali. Pokoknya dari perjalanan ini kita nemuin banyak keberutungan.
Alam menyertai kita. Alhamdulillah.
Lalu,
ada lagi yang seru. Kita gak lagi naik bus Sutra. Nunggunya lama dan sudah
pasti penuh banget. Jadi ada mobil pribadi yang nawarin kita naik sampai ke
simpang pos, walau bayarannya dua kali lipat dari naik bus sutra, yah gak apa
lah. Yang penting nyaman dan aman sampai ke Medan. Dalam perjalanan macetnya
luar biasa, ternyata lebih parah dari macet pas mendaki sibayak tadi.
Akhir
kata, terimakasih untuk jelajahnya. Apakah jati dirinya sudah diketemukan?
Hehe. Mungkin kita perlu mendaki gunung yang lebih tinggi dan perjalanan yang
lebih luar biasa lagi. Salam lestari.
Ini wajah belum mandi. Ganteng? bagiku banget :p |
Tulisannnya
kepanjangan? Aku yakin kalian gak baca semua, pasti cuma lihat foto-fotonya
aja. NGAKU? Sama! Di blogmu aku juga kadang gitu haha *kecuali tulisan romance yah, aku pasti baca habis*
Kalo naik bus sutra ke simpang Brastagi Cuma Rp. 10.000,- jadi berapa kalo dari Jakarta ke Sibayak ?
BalasHapus