Oleh: Rezita Agnesia Siregar
Selalu ada cerita dibalik tangis dan tawa, seperti aku. Selalu ada aksara yang melayang bebas dalam intuisiku, merangkai dan memintal aksara untuk aku pamerkan di masa depan, tentang hari ini, kemarin dan esok. Bukan mudah untuk menyatukan berpuluh-puluh pendapat, terlebih tentang perdebatan yang terkadang membuat aku muak, bahkan hampir menumpahkannya dari perutku. Berbulan-bulan aku dan keluarga besar Ahwal Syakhsiyah-B merundingkan tentang tujuan liburan akhir semester ini, puluhan pendapat terlontar dan puluhan perdebatan hampir tak terelakkan, asa hampir lelah.
Husni Amrullah, kosma yang telah duduk dalam dua periode menjabat sebagai komisaris mahasiswa ini hampir kehilangan kesabarannya menghadapi kami, karibnya. Banyak tujuan yang disampaikan oleh teman-temanku, mulai usulan pergi ke Brastagi, Bukit Lawang, Pantai Cermin hingga wahana permainan paling aku idam-idamkan Micky Holiday, sampai akhirnya kami menetapkan pergi ke Danau Toba.
Tidak seperti teman-teman kebanyakan, aku tidak terlalu girang, mungkin karena ini bukanlah kunjunganku yang pertama, sebelumnya aku telah “menyelami” Danau Toba bersama Kru Pers LPM Dinamika IAIN Sumatera Utara, Organisasi yang aku geluti di kampus tercinta. Bukan aku berkecil hati karena pilihan jatuh di Danau Toba, hanya saja tingkat penasaran sedikit melebur, namun aku bisa menepis.
Tidak seperti teman-teman kebanyakan, aku tidak terlalu girang, mungkin karena ini bukanlah kunjunganku yang pertama, sebelumnya aku telah “menyelami” Danau Toba bersama Kru Pers LPM Dinamika IAIN Sumatera Utara, Organisasi yang aku geluti di kampus tercinta. Bukan aku berkecil hati karena pilihan jatuh di Danau Toba, hanya saja tingkat penasaran sedikit melebur, namun aku bisa menepis.
Dana diambil dari uang kas yang selama dari semester satu hingga kini bertengger di semester tiga telah kami sisihkan, namun uang kas itu pun tidak mencukupi biaya untuk pergi ke Danau Toba, berbagai usulan menetapkan bahwa kami harus mengumpulkan kembali uang kami senilai Rp 65.000 per orangnya, dengan sebelumnya harus melunasi uang kas terlebih dahulu.
Aku sedikit berkecil hati dalam posisi ini, karena sahabatku Tikka Era Wandira tidak dapat ikut ke Danau Toba karena alasan yang sulit aku artikan. Bukan hanya aku, sejawat lainnya tak urung mengajaknya dan ribuan solusi telah terlontar, alhasil Tikka tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk tidak mengikuti liburan kali ini, liburan yang pertama kalinya kami adakan dan mungkin saja yang terakhir, harapku tidak.
Satu hari menjelang hari H, entah apa yang direncanakan Tuhan padaku kali ini, sahabatku Mentari Maya Anggela Br Gultom jatuh sakit, tubuhnya panas dan ia menggigil pada jam kedua matakuliah Ushul Fiqh, masih dapat disyukuri ia masih dapat mengikuti ujian pertama pada matakuliah Fiqh Muamalah. Hematku mungkin karena ia belum sarapan pagi, aku beriinisiatif untuk memberinya bekal makanan yang aku bawa, namun itupun tidak membuatnya pulih, menurut Tari sendiri, sakit yang ia alami sekarang dikarenakan ia terkena hujan pada malam kemarin dan kurasa ia masuk angin.
Jumat, 15 Desember 2012. pesan mendarat di ponselku, ku buka dan ternyata dari nomor yang tidak terdaftar. Pesan tersebut berisi berita yang membuat mataku mendung ketika itu, bahkan hampir sembab. Seorang yang bernama kak Ze, ia adalah kakak yang sekamar kost dengan Tari dan ia pula yang menjaga Tari selama ia sakit, ia mengatakan bahwa Tari sedang di rawat di rumah sakit dan hari ini ia tidak dapat juga ikut pergi ke Danau Toba. Oh Tuhan, semangatku turun, rasanya juga tidak ingin ikut, mengingat aku sudah pernah pergi ke Danau Toba, tapi di sisi lain aku fikir ini pertama kalinya aku dan teman-teman sejawat Ahwal Syakhsiyah-B mengadakan liburan yang sudah lama direncanakan. Aku terperangkap pada zona andilau (antara dilema dan galau), aku hanya punya waktu beberapa jam lagi untuk memutuskan untuk pergi atau tidak.
Keputusan sudah kugenggam, kuputuskan untuk tetap pergi karena aku terlalu bodoh jika aku mengurungkan niatku untuk pergi hanya karena kedua sahabatku tidak ikut pergi, aku harus benar-benar meyakini bahwa Ahwal Syakhsiyah-B bukanlah kotak-kotak, ia melingkar dan aku termasuk di dalam lingkaran tersebut.
Satu jam menjelang pukul 22.00 wib, aku mengirim pesan pada Tari, untuk menjaga kesehatannya dan minum obat secara teratur serta istirahat yang cukup. Aku tak kuasa menahan bendungan yang hampir pecah di palataran pipiku ketika pesan itu aku kirim. Ketika pesan itu terkirim pikiran buruk mulai berkecamuk di dalam otakku hingga intuisiku kali ini harus benar-benar diam dulu sejenak demi meredam emosi logikaku. Bagaimana mungkin bisa menikmati liburan tanpa sahabat karib? Akan jadi apa aku di sana nanti? Ah, ribuan pikiran bodoh membuatku gila malam itu.
Aku tiba di tempat yang kami janjikan, di pelataran komplek MMTC di sebelah sekolah MAN 2 Model Medan. Aku terlupa bahwa managemen waktu Indonesia yang ngaret, ternyata aku adalah orang pertama yang datamg tepat waktu, detik itu adalah awal dimana aku merasa benar-benar membutuhkan kehadiran sahabatku. Sepulang abangku mengantarku dari rumah hingga tepat di halte depan sekolah MAN 2 Model Medan, aku duduk di halte di antara ribuan pasang mata yang berlalu lalang di depanku, aku ketakutan dan tiba-tiba bulir air mata jatuh melesat di pipiku, entah apa sebabnya, entah karena phobia-ku terhadap gelap, entah karena aku rindu sahabatku, entah karena aku takut di culik karena sendirian terlebih karena aku seorang perempuan yang pukul 23.00 masih gentayangan di tengah kota. Ah itu hanya imajinasiku, yang pasti mataku sembab ketika itu dan aku pun tak kuasa menahan isak yang membuatku geram pada diriku sendiri, kenapa harus menangis, gumamku.
Aku berniat untuk menelfon Tari sembari menemaniku ketika aku tengah menunggu teman-teman yang lain datang, namun aku pikir Tari pasti sudah tidur, mengingat ia tengah sakit. Aku menelfon Yusuf Gunawan, someone-ku. Sebab dia pasti selalu ada buatku, meski kepergianku ke Danau Toba kali ini tak mendapat izin darinya, sebabnya? Sangat sulit dipahami, kalaupun paham, aku tak mampu menyampaikannya.
Bukan meredakan tangisku, dia malah membuatku makin terisak, sebab pernyataan yang ia katakan bahwa ia tak bisa lama menemaniku lewat telfon, karena ponselnya tengah lowbad dan suasana di kediamannya dilanda padam listrik. Aku makin terkucilkan. Setahuku, lelaki yang akrab aku panggil Awan ini tidak pernah tega membiarkan aku bergulir dalam sedihku. Memang benar, ketika telfon terputus karena ponselnya yang lowbad, semenit kemudian telfon kembali masuk, ternyata ia meminjam ponsel orang lain yang ia gunakan untuk kembali menelfonku, aku sedikit tenang hingga teman-teman yang lain datang menyusul dan ternyata mereka sudah datang namun bukan di tempat dimana aku menunggu lama dan sendirian. Mereka menunggu di pelataran MMTC, kurasa memang aku yang salah.
Kuperhatiakan penampilan teman-temanku satu persatu, kurasa mereka cocok bila ditempatkan sebagai model iklan. Sebab gaya mereka memang sangat necis dan aku sangat salut dengan salah satu teman yang sangat dihormati di kelasku, namanya Muhammad Idris Nasution, ternyata bukan hanya di kelas saja ia menggunakan kopiah ketika kuliah ternyata disaat liburan seperti ini pun ia masih bersikukuh mengenakan kopiah dikepalanya. Wah, aku salut.
Malam semakin larut, waktu menunjukkan pukul 24.00 wib, gerimis pun ikut larut dalam menggebunya semangat teman-temanku untuk mengudara ke Danau Toba. Pun hujan tak mau kalah mengguyur kami dengan semangatnya, aku dan teman-teman pun melindungi diri di bawah naungan halte. Tak beberapa lama diguyur hujan akhirnya bus yang telah dinanti-nanti datang menghampiri. kami pun berbondong-bondong memasuki bus ber-AC yang besar bermuatan 40 orang tersebut. Pun bus sudah datang, kami tak langsung mengudara, masih ada sekitar tiga sejawat lagi yang harus kami tunggu, Syaprial, Yunus dan Nurul Arif El-Hakim.
Dalam rinai hujan yang menggelitik bulu kudukku, banyak peristiwa yang membuatku geram bahkan tak mampu menahan gelak tawa malam itu. Hujan sangat deras ketika itu, satu sejawat telah datang di seberang bus yang kami hinggapi, dengan alasan hujan yang tak ingin hujan deras mengenai tubuhnya, Syaprial meminta agar bus nya memutar haluan dan menhampirinya, bagaimana mungkin bus yang sebesar itu yang mendatanginya? Bukan hanya aku, bahkan seluruh teman-teman yang duduk di dalam bus tersebut pun ikut geram karena Syaprial enggan untuk melewati saja hujan yang ia takuti. Namun ia tetap saja bersikukuh, hingga sampai akhirnya pahlawan kemalaman datang, Zaheer Alfani datang menghampiri Syaprial dengan menerobos hujan yang begitu derasnya dan melepaskan jaket yang ia kenakan untuk Syaprial. OMG, Zaheer so sweat banget.
Belum sampai disitu, kami masih harus menunggu dua sejawat lagi, tak beberapa lama Muhammad Yunus datang dengan melegakan sedikit kegeraman kami. Aku rasa semangat yang tadinya menggebu agaknya mulai padam. Saatnya menunggu Nurul Arif, ternyata menunggu memang sangat menyebalkan, apalagi ditambah pernyataan dari Muhammad Arfan yang membuat kami saat terpingkal ketika itu “Ganteng enggak, pintar enggak, ngapainlah ditunggu-tunggu si arif ni” celetuk Arfan. Semua teman menyambut dengan tertawa. Bukan barang sebentar kami menunggu si Arif, hampir satu jam, namun demi sebuah keutuhan keluarga, kami rela menunggu.
Arif pun datang dengan mengundang sorakan yang meriah dari seluruh teman-teman, menandakan perjalanan kami akan dimulai. Di dalam bus aku duduk bersama Ramidah, belum jauh perjalanan kami sudah disambut dengan adanya kue bolu buatan Nur Alija, karena Sri Wahyuni tengan berulangtahun ketika itu, kami pun merayakannya bersama, sangat meriah.
Tepat pukul 01.00 wib kami berangkat mengudara menuju Danau Toba-Parapat, banyak aktifitas yang kami lakukan di dalam bus, mulai dari bernyanyi bersama dan tak sedkit juga yang tidur memulihkan diri, termasuk aku. Sekitar pukul 05.00 wib, kami hampir sampai di Parapat, dari bilik jendela bus aku menikmati indahnya lampu-lampu kota melambai-lambai di tepian Danau Toba untuk kedua kalinya. Hingga akhirnya kami tiba di Masjid Taqwa Parapat untuk menunaikan ibadah sholat shubuh yang diimami oleh Muhammad Idris Nasution.
Usai sholat, kami masih harus berunding untuk rencana kami selanjutnya, perdebatan kembali tak terelakkan. Fikirku aku setuju saja dengan hasil musyawarah mereka sembari makan bekal sarapan pagi yang telah disiapkan oleh mamaku tercinta, nasi goreng spesial, aku juga ikut bersitegang dalam musyawarah terbuka kala itu.
Setelah usai musyawarah, mereka memutuskan untuk sarapan pagi, sedangkan sarapan pagiku sudah habis. Oh no!! niat mengitari pemandangan Danau Toba dari pingiran Danau dengan berjalan kaki, hentakan kaki kami dihentikan oleh pengawas pintu masuk Danau Toba, dengan tujuan bahwa kami harus membayar administrasi dulu baru bisa memasuki pelataran Danau Toba, aku fikir juga memang harusnya begitu.
Awalnya kami ingin menaiki bus ke dalam pelataran Danau Toba, namun supir dari bus tersebut urung, katanya halaman parkir pelataran Danau Toba itu sudah penuh. Aku tercengang, hematku ini adalah hari sabtu bukan hari minggu, bagaimana mungkin pelataran parkir Danau Toba yang begitu luas tersebut bisa penuh? Ini pembodohan, lalu apa tujuannya? Akhirnya si supir memutuskan untuk masuk ke pelataran parkir Danau Toba, setelah melalui percekcokan administrasi yang tak ingin kuambil pusing, akhirnya kami sampai.
Sangat mengejutkan bagiku, mungkin juga bagi teman-temanku. Pelataran parkir Danau Toba itu sama sekali tidak penuh. Lalu? Ah entahlah, tak baik bersuuzan. Aku dan teman-temanku pun turun dari bus, dengan menghirup segarnya aroma pegunungan, suasana kali in tidak terlalu ramai, mungkin Karena ini hari sabtu.
Zulkifli Hutagaol, yang sudah berpengalaman mengenai Danau Toba, mencoba menanyakan perihal kapal yang hendak kami gunakan untuk berlayar menuju Tomok. Ia menawarkan agara kami menaiki kapal yang memakan biaya Rp 5000 perkepala, namun itu hanya biaya pergi saja, untuk kembalinya masih diragukan, dan kapal tersebut tidak singgah ke batu gantung, sedangkan pemilik kapal pariwisata tak henti mempengaruhi kami untuk menaiki kapalnya, dengan biaya Rp 20.000 perkepala namun sudah termasuk pulang pergi dan akan menyinggahi indahnya panorama batu gantung dan katanya sudah termasuk biaya administrasi memasuki Tomok. Karena kapal ini resmi, akhirnya kami memutuskan untuk menaiki kapal pasriwisata yang mengenakan biaya Rp 20.000 perkepala tersebut.
Menyinggahi batu curam yang dinamakn batu gantung tersebut, kapal yang kami tumpangi hampir oleng karena seluruh penumpang berbondong-bondong memposisikan diri mereka di sisi kanan kapal, sebab batu gantung berada di sisi kanan kapal, tak sedikit yang belum mengetahui sejarah batu gantung, terlebih sejawat-sejawat dari tanah seberang, Malaysia. Muhammad Arfan pun menceritakan kisah batu gantung pada mereka. Semilir angin sangat melambai lembut menyentuh kulitku namun matahari sangat sengit menyinari danau hijau yang tengah kami pijaki.
Kami tiba di Tomok, tempat dimana banyak dijual cenderamata yang bisa dibawa pulang ke Medan dan
juga Malaysia, bagi orang Malaysia. Mengitari Tomok, agaknya tidak bisa membawa kocek sedikit, ada saja yang ingin dibeli, aku membeli oleh-oleh untuk Yusuf Gunawan dan juga sahabat-sahabatku lainnya. Di ujung Tomok kami sampai pada Batak Museum, tempat dimana terletak ulos-ulos batak dan barang-barang bersejarah lainnya yang berhubungan dengan suku batak. Kami juga mengunjungi makam raja batak yang dikenal sangat keramat.
Sepulangya dari Tomok, kami berniat untuk menyewa pondok, namun lagi-lagi kami kembali bersitegang dengan pemilik pondok, ini hal yang wajar. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak menyewa pondok sama sekali. Yah, kami hanya bertebaran kesana-kemari kemana pun kami mau. Ada yang mandi-mandi menikmati dinginnya air Danau Toba dan ada juga yang hanya menikmati pemandangan gunung yang tinggi menjulang dengan mengabadikannya lewat kamera mereka masing-masing. Aku dan Ramidah memutuskan untuk mengitari satu daerah dimana pemandangannya cantik menurut kami, aku dan Ramidah mengabadikan foto kami di satu kediaman yang sangat indah. Hingga akhirnya kami dikejutkan dengan satu peristiwa yang membuatku harus menahan degup jantungku, ketika air danau bergelombang dan seakan membawa seekor hewan yang kami pikir itu adalah buaya menuju kearah kami di pinggir danau, asumsi kami salah, setelah diamati, ternyata sesuatu yang kami kira buaya adalah sebuah batu yang berbentuk sangat mirip dengan buaya.
Senja mulai menyingsing, usai sholat ashar, kami bergegas kembali ke Medan, wajah-wajah lelah terlihat jelas di raut wajah teman-temanku, namun juga tercium aroma bahagia dari rinai-rinai suara mereka. Di dalam bus kami kembali terhibur dengan lantunan lagu dari musisi kawakan Ahwal Syakhsiyah-B yang sangat popular di kelasnya. Said Ridho, ia menyanyikan lagu-lagu yang membuat kami kembali mengeluarkan energi untuk tertawa, nyayian yang menggelitik perut kami. Hingga akhirnya kami terlelap dalam lelah yang membahagiakan.
Kami tiba di Medan, sekitar pukul 22.00 wib tepat dimana kami menunggu bus tersebut malam kemarin, pelataran komplek MMTC yang terletak di sebelah sekolah MAN 2 Model Medan, semua teman-temanku kembali ke kos mereka masing-masing, tidak denganku, yang masih harus menuggu jemputan agar sampai di rumah. Aku tidak sendirian, aku di temani oleh Yusuf Gunawan lewat telfon, karena saat itu dia sedang tidak berdomisili di Medan. Agak lama juga aku menunggu jemputan abangku, akhirnya ia datang dan tak sabar merebahkan tubuh dan melepaskan penat di kamar tercinta.
Sekiranya liburan kali ini tak seburuk yang aku fikirkan, meski kulalui tanpa Tari dan Tikka toh aku juga masih bisa menyungging senyum, seperti pahamku yang mengatakan bahwa Ahwal Syakhsiyah tak lah kotak, ia melingkar dan aku termaktub di dalamnya. Dengan kemauan dan keikhlasan yakinku pasti bisa melalui detik dengan keceriaan, seperti liburan kali ini, sedetikpun tak luput dari gelak tawa.
Liburan usai, namun liburan yang kami adakan satu hari sebelum ujian semester ini agaknya membuat kami resah, karena biasanya liburan diadakan ketika semua masalah telah selesai, ketika liburan benar-benar liburan. Namun kami malah mengadakan liburan ketika seninnya kami harus ujian semester. Bahkan di sela-sela tawa kami, ada saja yang mengingatkan kami pada makalah dan tuga-tugas akhir semester yang belum selesai, namun kami selalu bisa menepisnya, agar liburan yang pertama kali kami adakan ini benar-benar menjadi sebuah liburan yang takkan terlupakan dan harusnya bukan hanya kali ini, dan pasti akan terulang kembali dengan suasana yang lebih menyenangkan. Harapanku, jangan ada satu orang pun dari personil Ahwal Syakhsiyah yang tidak ikut di liburan selanjutnya.
Medan, 26 Desember 2012
Mahasiswa jurusan Ahwal Syakhsiyah-B Semester III
Husni Amrullah (kosma)
Muhammad Idris Nasution (wakil kosma)
Rezita Agnesia Siregar (aku) (sekretaris)
Mentari Maya Anggela Br Gultom (Bendahara)
Abdurrahman
Ali Geno Barus
Ali Imran
Anwar Soleh Harahap
Bangun Batubara
Daulay Hatomuan
Muhammad Arfan
Muhammad Arsyad Tanjung
Muhammad Duha
Muhammad Iqbal Saragih
Muhammad Kahfi
Muhammad Rizki Nasution
Muhammad Yunus
Nur Alija
Nurul Arif Elhakim
Ramadhan Ariga
Ramidah
Sakdan Harahap
Said Ridho
Sinar Fauji
Sri Wahyuni
Syaprial
Tikka Era Wandira
Zaheer Alfani
Zainuddin Ary Sinaga
Zulfikir Nasution
Zulkifli Hutagaol
Fatin Nur’ain
Nur Syuhada
Nurul Hanisah
Nurul Ittifaqiah
Siti Nur Aqila
Zarifah Atiqah
Muhammad Hafiyzu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar