Oleh: Rezita Agnesia Siregar
Seperti terseret ke dalam mesin
waktu
Aku terduduk di suatu senja tiga
tahun silam
Aku dibisukan keadaan
Diam termangu meratapi senyum
merekah di seberang sana
Tawa lepas tak terkendali di
seberang sana
Binar mata berkaca-kaca di seberang sana
Haru biru di ambang senja
Tiga tahun silam
Siapa gerangan dua raga itu
Bahagia di peraduan
Tak ayal nyawa lain mengusik
Mentari tidur dengan malu-malu
Berarak berganti bulan
Kulihat senyumnya menyerupai
lengkungan sabit
Bintang tak sudah ikut mampir
Kulihat taburan cahaya itu tak
secerah raut wajahnya
Kurasakan angin ikut mengendap
Namun sautan angin tak semerdu
perbincangan mereka
Seketika petir cemburu
Menghampiri dan memecah keheningan
nan mesra
Gerimis tak lagi bersahabat
Mematahkan hati merobek kedamaian
jiwa
Gulita mencekam
Bagaimana mungkin Menunggu pelangi
selarut ini
Aku tercengang
Apa daya
Tak ada upaya yang mampu ku tembus
Jeritku membeku
Peristiwa apa ini?
Kudapati badai menerjang keharmonisan
Gemuruh menyekat dinding di antara
mereka
Mereka tersedu
Tertunduk pilu
Apa gerangan yang harus aku lakukan
Menunggu esok menjelang hingga
mentari bersahabat dengan pelangi
Semoga . . .
-Medan, 29 Juli 2009-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar