Pagi
masih gulita, desau angin menggigil. Embun semerbak mendamaikan gelisah hati, kokokan
ayam belum sempat bergema, mata sudah tak terpejam beranjak menggemakan azan di
seluruh penjuru negeri. Cendiawan muda, bermalam dan bersiang di satu ruangan
bersegi empat yang berdinding putih berhiaskan buku-buku yang habis terlahab
saban hari. Qorib, pria kelahiran desa terpelosok nun jauh di ujung pndang,
merantau demi masa depan cerah tak terelakkan, akhirat tujuan diri.
Azan
terdengar syahdu keluar dari hatinya, saban subuh sejak memantapkan diri
menjadi mahasiswa di kota metropolitan, Medan. Bukan banyak dana untuk bisa
tinggal di kos-kosan yang mewah dan serba ada, hanya dapat mengandalkan
kebaikan hati sang pencipta, ia mampu hidup di kota yang bisa saja membunuhnya
kapan saja. Menjadi penjaga masjid bukan perkara mudah, jika tidak tertanam ikhlas,
beban ‘kan menjalar dalam benak.
Tertancap
dalam benaknya untuk merubah nasib diri dan keluarga yang entah sudah seperti
apa di kampung halaman, tidak akan menyia-nyiakan waktu sedetik pun untuk hal
yang tiada guna, Qorib selalu belajar dan terus belajar untuk bisa menggapai
ridho sang Illahi. Bukan sekedar mengumandangkan azan, namun tanggungjawab
lebih dari itu, menjadi imam bagi puluhan kepala yang berharap pahala 27
derajat pada-Nya. Tidak punya banyak waktu untuk mengahabiskan waktu dengan hal
yang sia-sia seperti kebanyakan cendikiawan yang entah masih pantas disebut
cendikiawan. Berdakwah adalah pilihan diri untuk menuju generasi Rabbani.
Bukan
sekedar memakmurkan masjid, pria yang tengah berguru di Fakultas Syari’ah IAIN
SU ini juga mengemban dakwah ke penjuru mana pun tuhan mengarahkan hatinya, mengajarkan
mencintai Alquran pada puluhan pasang mata yang masih suci, pada bocah-bocah
yang kelak menjadi ulama-ulama besar yang berdedikasi tinggi. Puasa sunah
adalah senjata diri untuk menghemat penghidupan, pahala teraup dan kebutuhan
tak terbengkalai.
Penrjalanan
hidup adalah cobaan, bukan sebutir dua butir air mata menggenangi wajahnya,
namun Allah masih memberinya kekuatan untuk hidup, bernaung di bawah kubah
masjid, berpuasa sebagai sarana penghidupan dan juga solat berjamaah sebagai
sarana menyambung tali silaturrahmi. Sepanjang meraih strata satu, Qorib tak
letih menjadi penjaga masjid, mencintainya serta memakmurkannya. Pergi kuliah
dengan sepeda bukanlah pilihan, namun karena memang tidak ada pilihan lain, uang
yang terkadang diberikan nazhir masjid kepadanya sudah terjatah untuk membayar
uang kuliah di setiap semesternya. Urusan makan adalah belakangan, ia percaya
bahwa Allah tidak akan menelantarkannya, yang terpenting adalah ia mampu menamatkan
kuliah dengan baik.
Tiga
tahun setengah, Qorib tamat sebagai cendikiawan yang benar-benar dinamai
mahasiswa sesungguhnya. Berniat untuk melanjutkan untuk meraup strata dua,
dengan tidak meninggalkan masjid yang tengah ia singgahi. Qorib selalu percaya
bahwa Allah tidak pernah tidur, hingga pria desa ini mampu menamatkan kuliahnya
tanpa kekurangan apapun, berkah karena ia memakmurkan masjid, selama berjuang
di strata satu hingga starata dua, Qorib selalu percaya pada keajaiban sebagai
penjaga masjid yang dikabarkan bahwa sandalnya saja pun sudah berada di gerbang
surga benar adanya.
Hingga
akhirnya dengan kekuasaan Allah, Qorib sudah mendapatkan gelar DR selama
menjadi penjaga masjid, tidak pernah ada kata canggung dalam dirinya, asalkan
halal dan Allah pun meridhoi, maka akan ada saja jalan menuju ke sana. Setelah
tamat dengan gelar DR, Qorib melamar menjadi dosen di IAIN SU. Tanpa kesulitan
apapun, Allah melancarkan jalannya lulus menjadi dosen dengan keridhoan Allah
padanya.
Setelah
menikah, Qorib mendapat gelar Prof. Masih seperti dahulu, mencintai masjid dan
mencintai puasa serta solat berjamaah, namun setelah bergelar professor, Allah
mendudukkannya pada hunian pribadi, bukan di masjid lagi. Baginya bukan tidak
mencintai masjid, tapi sudah sepantutnya menjadikan kemakmuran masjid sebagai
regenerasi bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin hidup dirihoi Allah dengan tinggal
di masjid dan mencintai masjid. Qorib, Tidak lagi berkekurangan, serba
kerkecukupan adalah cobaan untuk terus bersyukur agar tidak takabbur.
Bertahun-tahun
menghuni masjid membuat Qorib tidak pernah berhenti mengabarkan tentang
mulianya menjadi penjaga masjid pada seluruh mahasiswa yang diajarkannya,
pelajaran bahwa siapapun bisa hidup tanpa harus menghuni rumah mewah, karena
Allah sudah menyiapkan rumah ternyaman bagi siapapun yang ingin mencintainya
dan mengharapkan keridhoannya, yaitu Masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar