Kepakan
ranting menggores lenganku, perih. Sudah kulupakan, hampir. Entah, sejauh mana
aku mampu menepi, menepi mengobati sayatan ranting yang kering, mencari dahan
untukku bersandar pun enggan, masih sangat perih kurasa. Aku terhempas,
terserak entah kemana arah, tersapu angin mendayu-dayu. Aku hilang arah.
Aku
tidak punya daya untuk menuju arah yang menyengatku, hanya mampu berharap penuh
pada desau angin yang berbaik hati meniti langkahku. Aku daun yang kering,
yang jatuh tersapu angin, terusir induk pepohonan yang gersang. Biarkan aku di
sini, jangan adopsi aku lagi, aku menyerah.
Aku
hanya punya seulas pandangan dan sehelai senyum yang tak indah lagi, namun aku
punya imaji yang tidak akan pernah mati. Radarku selalu mengarah ke arahmu,
duhai pohon berhati gersang. Aku tidak pernah pergi, aku selalu di sini, tempat
di mana kau menjatuhkanku di bawah dahanmu, meski sedikit tergeser tertiup
angin. Aku, dengan segenap kelihaianku, memperhatikanmu.
Hingga,
angin benar-benar marah padaku, mendepakku jauh dari pandanganku
memperhatikanmu. Aku tidak marah pada angin yang telah merusak diamku untuk
menjagamu, biarlah. Aku bisa merasakanmu lewat desauan angin yang berhembus
hingga pelupuk mataku. Sungguh, aku merasakan itu.
Jarak
itu, benar-benar membunuhku. Ketika angin mengabarkan padaku bahwa kau telah mengadopsi daun baru. Aku tidak
terluka, hanya tersayat seperti kemarin ketika aku tersayat ranting, setidaknya
aku masih punya angin yang bisa mengombang-ambingkan aku, pergi kemana arah ‘kan
melaju, hingga aku tak lagi bernamakan daun. Bunga.
Medan, 29 April 2013
02.30 WIB
Masih, di Pelataran Hati yang Terkikis.
hem hem..
BalasHapusKenapa Bang? hehe
BalasHapus