Bukan siapa-siapa dan akan jadi siapa? selalu melalang buana dalam
benakku, ketika awal memberanikan diri mendaftar di Lembaga Pers Mahasiswa IAIN
Sumatera Utara, sebuah lembaga intra kampus yang bergerak di bidang
jurnalistik. Aku, seorang yang sangat sulit untuk bergaul lalu memutuskan untuk
mendaftar sebagai jurnalis kampus? akan jadi apa aku di sana? mau apa? bisa apa?
Berbekal hobi suka menulis aku memberanikan diri untuk mendaftar sebagai
jurnalis kampus di Dinamika. Menjadi pendaftar pertama adalah kebanggaan
tersendiri bagiku, bahkan formulir pendaftaran pun belum disiapkan ketika itu,
hebat sekali.
Langkah dimulai, mengikuti berbagai pelatihan kepenulisan pun kurasa
belum cukup untuk menjadikanku bisa menulis seperti senior-senior di Dinamika
yang sangat super sekali. Dari SMP, aku suka menulis, meski hanya sekedar
menulis kisah sehari-hari dalam buku diary
dan juga puisi. Itu pun membuatku tertawa geli ketika melihat kembali hasil
tulisan keseharianku juga puisi-puisku dulu, tulisan yang sama sekali tidak
terarah.
Pelatihan yang paling aku ingat adalah ketika berlatih menulis puisi
non-lugas oleh Kak Wahyu Wiji Astuti, Ia mengajarkan bagaimana menulis puisi
yang benar-benar puisi dengan metode membuat pohon kata terlebih dahulu. Lalu
dengan metode olahraga rasa yang diajarkan Kak Wahyu, aku dan seluruh isi
ruangan diajak berjalan-jalan dalam dunia yang kami ciptakan sendiri, melihat
jauh kebelakang juga berhayal jauh ke depan, mengingat kembali kenangan yang
indah dan menyakitkan. Memejamkan mata dan tanpa terasa bulir air menggenangi
pipiku dan juga kru di sekretariat Dinamika ketika itu. Berbekal kisah itu,
diajaklah kami untuk menulis puisi sesuka hati dengan metode pohon kata, yaitu
menyusun terlebih dahulu kiasan apa yang ingin dimasukkan ke dalam puisi yang
akan di tulis.
Usai menulis puisi diwajibkan untuk memposting puisi non-lugas tersebut
di note facebook, banyak sekali pujian untuk puisiku. Aku suka menulis,
tapi aku tidak punya nyali untuk memposting tulisanku, takut bila dikritik.
Namun tak seburuk perkiraanku, mereka bilang puisiku bagus, begitu juga dengan
Kak Wahyu Wiji Astuti.
Aku, kecendrungan untuk timbul masih sangat kecil. Hampir tidak punya
nyali sama sekali. Tapi, Dinamika mengubah mainset-ku,
untuk tidak takut untuk berbuat, meski sekarang rasa takut masih ada, takut
salah. Aku menepisnya. Aku mulai menulis puisi, lalu aku kirim ke Harian
Analisa, hasilnya puisiku pernah terbit di edisi 4 Juli 2012. Jika bukan karena
aku ada di Dinamika, mungkin aku tidak bernyali untuk mengirimkan puisiku ke
Analisa, aku semakin mantab karena sudah mengikuti pelatihan menulis puisi
non-lugas kemarin.
Teman baru, sahabat baru, keluarga baru. Bukan mudah untuk menjalaninya, bukan
mudah juga untuk mempertahankannya. Milyaran peluh berjatuhan bahkan juga air
mata. Teringat ketika pengukuhan kru
muda I angkatan 2012, siapa yang mengira bahwa akan ada air di atas embun.
Apalagi ketika ditanya siapa yang akan yakin lulus, aku sama sekali tidak
yakin, tapi sahabat baruku Vivi Nurmala Sari terus menyemangatiku bahwa ini
adalah rumah kita, jangan pernah takut jika sudah berada di dalam atap rumah
sendiri, ini keluarga kita, tidak akan pernah ada hal perlu dikhawatirkan, dia bilang aku perempuan yang hebat, mampu
bertahan hingga sejauh ini. Aku fikir perkiraan Vivi salah ketika itu.
Dalam dekapan Vivi aku tersedu, meratapi hal yang sama sekali tidak bisa
aku geluti. Banyak bidang yang bisa di duduki di Dinamika, Desain, fotografi,
editor, layoter, litbang dan yang terpenting adalah menjadi reporter. Aku tidak
punya keahlian sama sekali di semua bidang. Terisak-isak dalam percakapan yang
sulit untuk dihentikan, aku ingat semua pesan-pesan Vivi padaku, bahwa semua
harus dijalani dengan hati, semua orang juga memulainya dari nol dan tidak ada
seorangpun yang langsung bisa berjalan tanpa berlatih dan itu pun dilalui
dengan jatuh berulang-ulang kali.
Ketika pengumuman mengatakan bahwa aku adalah anak magang terbaik ketiga,
aku bukan menangis karena haru, aku menangis karena tidak pantas. Banyak yang
lebih hebat dariku. Terutama kesalutanku pada Muhammad Zuhri Nasuha, dia
benar-benar menanamkan konsep loyalitas yang diajarkan Mbak Berti ketika
pelatihan keorganisasian kemarin, aku salut sekali padanya, seharusnya dia yang
menjadi terbaik itu.
Tercucur terlebih ketika Vivi dinyatakan tidak lulus, tanganku gemetar.
Kalau bisa menjerit aku sudah menjerti ketika itu, dia menyemangatiku dengan
kewibaannya, lalu dengan semudah itu Ia dinyatakan tidak lulus. Senior memang
sangat suka melihat juniornya menangis, itu terlihat menjadi kebahagiaan
tersendiri bagi mereka, tapi tidak sedikit senior yang menangis dalam drama
yang mereka sutradari sendiri. Manis sekali.
Lelaki mental kupu-kupu, saking hebatnya arti keluarga baru ini, mata
memaksa kantung air mata untuk menumpahkan air di dalamnya. Lelaki pun begitu,
padahal ditinggal pacar pun belum tentu mereka bisa menangis, tapi di sini, di
tempat yang aku sebut keluarga ini, semua bisa terjadi, tidak satu orangpun
yang ingin kehilangan salah satu dari keluarga barunya. Keluarga baru telah
lahir, semua dinyatakan lulus setelah secara tidak langsung senior memaksa kami
untuk merengek dinyatakan lulus, bagamana tidak? sebab perjuangan sudah dilalui
selama tiga bulan lebih, pertengkaran pun sudah menjadi hal yang biasa.
Tidak tahu mau berbuat apa, ya itulah yang sebenarnya ada dalam benakku.
setelah tercatat menjadi fotografer di Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika, sifat
takut salah masih merajalela di benakku. Apalagi dikoordinatori oleh fotografer
yang super galak, Murpi Lubis. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa
dimarahi, tapi kenyataannya dia memang pria yang super galak yang pernah aku
kenal, Dia tidak begitu galak dimata kru lainnya, entah kenapa di mataku Dia
itu sangat galak, meski cara menasihatinya itu tidak seperti yang aku inginkan,
namun di balik kegalakannya itu aku yakin ada semangat memotivasi di dalamnya.
Lagi-lagi aku bisa kuat karena dorongan sahabat yang baru aku kenal di Dinamika
ini, Vivi tak henti menyemangatiku, Ia selalu berhasil untuk menyemangatiku
untuk tetap bertahan dan kuat, tapi sayangnya aku terlalu bodoh untuk menjadi
motivator bagi Vivi. Hidup adalah pilihan dan ini adalah pilihanku, itu yang
selalu ia katakan padaku, bersujud pun aku, tetap tak bisa menggoyahkan
keinginannya untuk melepaskan diri dari Dinamika, dengan berbagai alasan sangat
sulit aku artikan.
Addin, mungkin aku adalah salah satu kru yang tidak pernah berniat untuk
menulis artikel untuk mengisi Addin, aku masih perlu banyak belajar untuk menulis
artikel. Pun kemarin aku sangat bangga bila artikelku terbit dengan judul
“Tinggalkan Dia Sebelum Halal”, berbekal kisah nyata aku mampu merangkai aksara
menjadi sebuah artikel, ini adalah artikel keduaku setelah kemarin aku juga
menulis artikel dengan tema Dinamika Peduli yang mengangkat kisah seorang kakek
pemulung bernama Muhtarsam yang biasa mengutip botol-botol bekas di IAIN
Sumatera Utara, tidak terlalu sulit, karena aku langsung mewawancarai kakek
tersebut. Tapi untuk artikel kali ini, setelah namaku keluar melalui jalan
pengundian, aku buntu dan sama sekali tidak tahu mau membahas apa dalam
artikelku
Berbekal “cinta” aku menulis artikel, dengan konsep awal mencintai dan
dicintai. Dengan tidak tidur, aku menulis artikel tersebut semalam suntuk, lebih
tepatnya “tidur ayam” agar bisa mengejar deadline.
Terasa sekali kepuasan bathin ketika tulisanku terpampang di lembaran Addin,
tidak sia-sia tidak tidur semalam, fikirku.
Semangat menulis semakin menggebu, namun sangat menyedihkan bila seorang
jurnalis kampus tidak pernah menulis berita. Aku ingat pesan si galak Murpi Lubis, ia
mengatakan bahwa jangan pernah menolak bila harus disuruh meeliput acara oleh
senior karena dari liputan itulah kita bisa belajar menulis berita. Aku juga
ingat apa yang dikatakan kak Haqqi
Lutfita, ia bilang
kita tidak akan pernah tahu bagaimana tulisan kita baik atau tidak jika kita
tidak menuliskannya, jadi tulis dulu baru biarkan ahlinya mengomentari.
Hasilnya, aku sudah menulis beberapa hasil liputan, meski aku tidak tahu
kemana perginya tulisanku itu, yang penting adalah aku belajar untuk terus
menulis berita, dengan keberanian yang masih tipis untuk mewawancarai
orang-orang besar, aku tetaplah harus melaluinya, kalau aku tidak di sini,
Dinamika. Bagaimana mungkin aku bisa mewawancarai Pak Erie Sudewo, seorang
praktisi pemberdayaan dan pencetus Character
Building di acara Seminar Nasional
Character Building.
Aku tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang penulis apalagi seorang
jurnalis. Cita-citaku adalah seorang dokter, seperti kebanyakan anak-anak kecil
pada umumnya, tapi hidup harus dijalani dengan hati.
Menulis, aku juga tidak pernah menyangka kalau akhirnya sekarang aku
sudah punya dua buku antologi bersama penulis-penulis hebat lainnya di seluruh Indonesia,
berkat lomba-lomba menulis yang aku ikuti di facebook, aku lebih membuka mata. Lalu, jika bukan karena Dinamika,
bagaimana mungkin aku bisa merangkai aksara dengan EYD yang benar, pelajaran di
sekolah saja tidak cukup memadai, tapi di sini benar-benar harus terjun
langsung ke dunia kepenulisan. Sekarang pun aku tengah menanti kelahiran tiga
buku antologiku yang akan segera terbit juga di dua bulan kedepan.
Banyak hal yang sulit aku ungkapkan, aku memang belum jadi apa-apa. aku
juga masih harus mengasah keberaniaku untuk timbul di publik, terlebih aku
harus benar-benar meguatkan mentalku untuk tidak menangis bila dimarahi senior,
namun praktik itu memang tidak mudah, apalagi untuk mengeluarkan suara dalam
forum, padahal sebenarnya banyak sekali yang ingin aku katakan, namun tertahan
di bibirku. Padahal Mbak Berti pernah bilang, bahwa “jadi jurnalis jangan
melempem”, dan ini masih proses pembelajaran untuk jadi yang lebih baik,
bersama Dinamika aku akan berkarya. Dinamika, Aku padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar