Hidup, secarik kertas bersketsa kepedihan. Memaksa untuk senyum pun enggan, bagaimana mungkin menyungging senyum sebab leher terjerat nadi. Berat, mengayuh roda yang antah berantah, entah mulai dari mana untuk melaju sampai ke tujuan. Tersungkur pun sulit bangkit, tangan tuhan tak terlihat nyata. Menyerah, salah satu pilihan yang tak bertemankan pilihan.
2011,
angka di mana aku mengayuh kaki. Bukan keinginanku, tapi tuhan memvonisku untuk
duduk di sini, IAIN Sumatera Utara tepatnya di jurusan Ahwal Syakhsiyah-B. Aku
dipertemukan dengan tiga puluh pasang mata yang belum pernah aku temui, tamatan
puluhan pesantren termasyhur di negeri ini. Aku, hanya tamatan aliyah yang entah
memiliki ilmu sejauh mana. Tiada gairah di awal, rasanya berat untuk
melanjutkan kayuhan, namun sesosok wanita parubaya mengantarkanku pada polesan
kasih Tuhan. Polesan yang benar-benar diberikan oleh Tuhan untuk umatnya yang
mau berusaha, karena Tuhan tidak melihat hasil akhir melainkan proses dari
usaha itu sendiri. Perempuan itu, Ibuku.
Terlahir
bukan sebagai anak konglomerat, membuatku harus benar-benar memanfaatkan
kursiku sebagai mahasiswa. Terlebih defenisi mahasiswa yang tak lain adalah
membaca. Perpustakaan adalah surgaku ketika itu, menyadari tak banyak kertas
bernilai di sakuku untuk bisa membeli semua buku-buku yang menjadi bahan ajaran
pokok pada setiap matakuliah.
Kali
ini, aku benar-benar percaya bahwa Tuhan punya rencara lain mendudukkanku di
kelas dan kursiku sekarang ini. Sistem ajaran yang memaksakan mahasiswa harus
membuat makalah menjadi lahanku untuk berkarya. Sebagian besar teman-teman
sejawatku tidak ingin bersusah ria untuk membuat makalah yang sulit bagi
mereka. Ini, giliranku untuk maju selangkah.
Makalah,
kumpulan carik-carik kertas yang tertoreh tinta dengan aksara yang ilmiah. Menyusunnya
bukan perkara mudah, tapi perkara kemauan dan kejelihan. Memilah-milah serta
kesesuaian isi sangat menentukan, sulit. Bagiku mudah, sebab sejak aliyah ini
adalah tradisi wajib, bisa karena terbiasa. Terbiasa karena tak pernah putus
asa.
Seorang
teman menanyakan perihal kebersediaanku untuk membuatkannya makalah milik
kelompoknya ketika itu, pahamku mereka bukan tidak lihai untuk membuat makalah,
mungkin ada hal lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu daripada
menyelesaikan makalah.
“Nesya,
bisa buatkan makalah kelompokku? Sehari sebelum presentase harus sudah siap
ya?” tanya Arfan, teman sekelasku.
“Insya
Allah bisa” jawabku dengan seulas senyum tersungging di bibirku.
Ketika
itu, aku tercatat sebagai sekretaris di kelasku, aku tidak perlu susah
menanyakan kembali siapa nama kelompok-kelompok temanku tersebut, juga mengenai
judul makalahnya, aku sudah mencatatnnya terlebih dahulu di dalam catatanku. Sebagai
seorang sekretaris, sudah menjadi kewajibanku mencatatn semua keadaan yang ada
di kelas. Mulai dari pembagian kelompok makalah serta judul-judul makalah di
semua matakuliah.
Dengan
senang hati aku mengerjakan tugas makalah temanku, selain bisa membantu mereka
menyelesaikan tugas, aku juga bisa sambil belajar dari makalah yang aku
kerjakan, meski makalah tersebut belum di presentasikan di depan kelas. Aku
mulai mencari bahan makalah di perpustakaan, lalu mencari referensi lain di
internet. Setelah bahan-bahan terkumpul, kubaca dan kupilah-pilah bahasan mana
yang sesuai dengan judul makalah, barulah aku mengerjakannya dengan basmallah.
Makalah
perdana aku selesaikan tepat waktu dengan hasil yang baik. Aku mendapatkan upah
yang lumayan dari jerih payahku mengerjakan makalah temanku. Setidaknya bisa
kutabung untuk membeli buku wajib pada tiap-tiap matakuliah. Bahagia tak
terkira terpaut di wajahku, bagaimana tidak, aku telah merelakan waktu tidurku
yang seharusnya delapan jam menjadi lima jam saja. Meski begitu teman-teman
lain juga ingin jika aku membuatkan tugas makalah mereka. Suatu anugerah
bagiku.
Menjadi
seorang kakak wanita tertua dari dua adik perempuan bukanlah pekerjaan mudah. Sejak
adanya permintaan pembuatan makalah yang membanjiriku, aku hampir lupa pada
kewajibanu sebagai seorang kakak yang membimbing adik-adiknya, terutama
membimbing dalam membersihkan rumah sendiri. Bukan sehari atau dua hari aku
mengabaikan tugas rumahku demi mengerjakan sebuah makalah, nyaris membuat
mamaku kesal.
“Rumah
gak dibersihkan, baju gak disetrika, satu harian di depan komputer saja.” Ujar
mama dengan sedikit nada meninggi serta raut wajah mengkerut di antara kedua
alis matanya.
Sejenak
kuhentikan tangaku menjama keyboard, dengan
sigap kubersikan rumahku agar tiada lagi amarah yang keluar dari mult mamaku.
Padahal sebenarnya untuk membereskan rumah bukan hanya menjadi tugas seorang
kakak, namun juga bisa dikerjakan oleh adik-adik yang umurnya juga sudah dewasa.
Namun terkadang kesaran masih minim dari adik-adikku, persepsi mereka bahwa
mereka tidak ingin bekerja bila sang kakak tidak ikut berpartisipasi, itulah
adikku.
Aku
tidak ingin sedikitpun membantah apapun yang dikatakan oleh mamaku, meski mama
tidak tahu apa sebenarnya tujuanku menerima tempahan makalah-makalah tersebut.
Tidak lain adalah untuk mendapatkan dana tambahan untukku membeli buku kuliah
atau buku-buku lain, setidaknya aku bisa meringankan sedikit beban mamaku dan
juga papaku, sebab untuk menjadi seorang peminta haruslah berfikir dua kali
untuk menadahkan tangan. Jika mampu, mengapa tidak?
Hari-hariku
disibukkan dengan mengerjakan makalah teman-temanku, juga makalahku sendiri.
Dari pembuatan satu makalah aku bisa mendapatkan sekitar Rp 20.000,- suatu
anugerah bagiku untuk melanjutkan kuliah dan tidak ingin menyia-nyiakannya. Aku
bersyukur pada tuhan, karena diberi kesempatan dan kesehatan hingga aku bisa
menyelesaikan begitu banyak makalah dengan baik, karena tuhan maha baik.
Selama
semester satu, aku tidak pernah menengadah tangan pada mamaku untuk meminta
uang dengan alasan membeli buku, penghasilanku dari membuat makalah sudah
sangat cukup bagiku memenuhi biayaku dalam membeli buku di semua matakuliah
ketika itu.
2012,
pola fikirku semakin menggila untuk berusaha sendiri dalam membiayai kuliahku, tidak
meminta uang untuk membeli buku belumlah cukup untuk membantu perekonomian mama
ataupun papa. Aku memutuskan untuk pergi kuliah dengan mengendarai sepeda. Abang
kandungku merakit sepeda pixy dengan tangannya sendiri, dengan keahlian yang
dimilikinya, ia pun mampu menghasilkan uang dengan jasa-jasa perbengkelan,
tidak kalah jauh denganku.
Dengan
sepeda pixy rakitan abang kandungku, aku bertekad untuk pergi kuliah
mengendarai sepeda, dengan niat untuk tidak meminta ongkos lagi pada mamaku,
kalaupun diberikan oleh mama, maka akan aku tabung untuk keperluan ke depannya.
Semua kebaikan tidak jauh dari segala konflik.
“Setiap
hari pake sepedaku, uda lecet-lecet sepedanya. Kenapa gak kau jaga?” ujar
abangku dengan sedikit membentak. Aku sadar bahwa aku juga hanya meminjam
sepeda pixy tersebut, aku tidak bisa melawan karena memang aku yang salah,
tidak menjaga sepeda tersebut dengan baik, hingga terlihat lecet di sela-sela
batang sepeda yang memiliki warna kuning tersebut.
Jarak
dari rumah ke kampus memakan waktu satu jam bila menaiki angkutan umum, bagaimana
dengan menaiki sepeda? Aku tidak pernah meragu untuk memulai, dengan segala
kesulitan yang aku torehkan, maka akan semakin tidak ada celahku untuk
menyia-nyiakan waktuku di bangku kuliah karena sangat sulit bagiku mengayuh
roda untuk sampai di kampus tercinta.
Dikenal
sebagai wanita penakut dan manja di rumah membuatku semakin gigih membuktikan
bahwa aku sangat bisa mandiri. Terlebih membiayai diriku sendiri, setidaknya
aku tidak menyusahkan dan mendesak-desak orangtuaku jikalau tidak memiliki uang
untuk membiayai sesuatu.
Bersama
mentari meninggi, aku mulai mengayuh sepeda pixy yang aku pinjam dari abang
kandungku, menghindari sengatan matahari yang tajam, aku berangkat pagi sekali.
Melewati jalanan yang berliku-liku, lingkungan perdesaan yang asri membuatku
sangat mencintai aktifitasku bersepeda ketika pergi ke kampus, selain
menyehatkan, bersepeda juga sangat hemat ongkos.
Lelah
memang sangat terasa hingga di ubun-ubun. Namun lelah lebih sangat menyakitkan
bila telah bersusah payah datang ke kampus namun dosen tidak menghadiri kelas, seperti
tersayat belati, teriris keris, terbacok golok. Namun kedatanganku ke kampus
itu bukanlah menjadi hal yang sia-sia, ilmu bukan hanya didapatkan ketika duduk
di dalam kelas. Perpustakaan terbuka lebar setiap hari, aku bersemedi dalam
perpustakaan, mencekoki kepalaku dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat meski bukan
ilmu yang keluar dari mulut dosen. Prasangka baiknya, mungkin para dosen
tesebut punya kepentingan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Putus
asa bukan sekali ataupun dua kali atau bahkan lebih. Mengingat begitu sulit
untuk menuntut ilmu, harus mengayuh sepeda di teriknya mentari, di sengatan
senja menyilaui, saking sulitnya untuk mendaki tanjakan jalanan yang mereka
sebut jalan tall, aku harus turun
dari sepeda lalu mendorongnya hingga ke atas jalan tall tersebut, lalu menaikinya lagi ketika turunan. Mengendarai
sepeda tanpa rem membuatku benar-benar harus berhati-hati ketika mendapati
turunan, jika aku oleng sedikit dan tidak bisa mengendalikannya, maka aku akan
menabrak pengendara lain atau bahkan pengendara lain menabrakku.
Terlihat
hujan pun sangat mencintaiku ketika itu, hujan mengguyur dengan derasnya,
diiringi dengan dentuman langit yang murka. Aku berusaha untuk membelah angin,
menelusuri jalanan landai, namun aku teringat bahwa aku membawa buku pelajaran
yang sudah aku simpan di dalam tas ranselku, aku tidak ingin buku pelajaran
yang sudah aku isi dengan berbagai matakuliah basah dan rusak begitu saja.
Aku
tidak pernah menyalahkan hujan, aku bahkan sangat mencintai hujan, namun ketika
senja hampir tertidur, hujan tak kunjung reda. Hingga akhirnya aku memutuskan
untuk membalut tas ranselku dengan jaket yang tengah aku kenakan, tidak mengapa
tuuhku kuyup, asalkan tidak dengan ilmu yang sudah kugalih dalam-dalam dan
kutoreh di dalam buku catatan.
Melihat
gadis tertuanya basah kuyub dan menggigil, mama terlihat sangat khawatir,
bahkan sudah sering mama melarangku untuk bersepeda pergi ke kampus. Namun aku
tidak jerah sebab aku bukan gadis manja yang sakit diterpa hujan lalu menyerah
dengan keadaan yang tidak berpihak.
Niat
baik pun kadang tak selamanya dianggap baik, seperti layaknya mamaku yang
melarangku mengendarai sepeda ketika ke kampus, abang kandungku juga terlihat
sangat murka ketika ia dapati semakin banyak lecet yang diderita oleh pixy
miliknya, bukan sengaja aku lakukan, tapi entah aku tidak menahu. Cukup sabar
mengelus dada, setidaknya aku masih diizinkan untk menggunakan sepeda pixy
milik abangku, meski telingaku kebal mendengar ocehannya saban waktu.
Setiap
kerja keras pastilah ada imbasnya, tidur yang sudah tidak teratur lagi, sejak
aku menerima jasa pembuatan makalah, tensi darah menurun karena terlalu lelah
mengendari sepeda dengan jarak yang sangat jauh. Namun aku tidak akan kalah
dengan semua dampak buruk yang terjadi, karena aku yakin pasti akan ada hikmah
di balik semuanya.
Tiada
jenjang waktu untuk terus belajar, tingkatkan kualitas diri. Dengan kegigihan
yang aku taburkan, maka aku bisa menuai benih dari apa yang telah aku lakukan,
setidaknya tuhan tahu bahwa aku sangat membutuhkan itu. Aku mendapatkan
beasiswa dari DIPA IAIN Sumatera Utara
sebagai mahasiswa kurang mampu yang berprestasi. Itu adalah beasiswa pertama
dalam sejarah hidupku. Dengan begitu, mama juga snagat terbantu, aku tersenyum
haru.
2013,
pengorderan jasa pembuatan makalah semakin menyusut, mengingat semakin dewasanya
sahabat-sahabatku dalam mengerjakan makalah mereka sendiri, bagaimana pun juga
mereka harus membiasakan diri membuat makalah, agar mudah mengerjakan tugas
akhir yaitu skripsi.
Karena
menyusutnya teman-teman yang menggunakan jasa pembuatan makalah, aku kembali
memutar otak untuk kembali bisa membiayai diri meringankan biaya orangtuaku.
Aku berdalih dengan menjual keripik balado.
Hasil rekomendasi dari teman-temanku yang mengatakan bahwa berdagang itu baik
adanya, seperti baginda Rasullullah, yang suka dengan berdagang.
Aku
tidak membuat sendiri keripik tersebut, aku hanya mnegambilnya dari seorang
teman lalu menjualnya kembali. Hasilnya lumayan, dalam seminggu aku bisa
menghasilkan Rp 50.000,- dalam sebulan aku bisa menghasilkan Rp 200.000,- nilai
yang sangat berharga bagi mahasiswa yang sangat haus ilmu, sepertiku.
Tidak
mengenal gengsi, aku menjajakan dagangan keripikku ke sana ke mari, demi sebuah
kalimat “Kak, beli keripiknya”, keringat jatuh bukan sebutir ataupun dua butir,
namun di dalam butiran peluh itulah tersimpan milyaran jerih payah yang akan
membuatku terus semangat memacu diri agar bisa terus mengecap pendidikan tanpa
menyusahkanka kedua orangtua.
Setiap
hasil jualan aku tabung secukupnya, sebagian aku pergunakan untuk memenuhi
keperluaku, seperti membeli buku atau keperluan lainnya. Menjadi seorang
mahasiswa yang mandiri bukanlah mudah, hanya perkara kemauan dan usaha. Jika
tertanam dalam diri bahwasanya tuhan selalu ada memberikan jalan keluar, pasti
tidak akan ada rakyat yang melarat sekarang ini.
Tidak
ada kata tidak untuk menuntut ilmu, bagaimapun bentuk sulitnya hidup, pasti
tuhan akan selalu memberikan jalan, karena aku percaya bahwa tuhan sudah
menetapkan rezki kita masing-masing dan tidak akan pernah tertkar ataupun
kemana-mana.
Mengayuh
dan terus mengayuh, percaya bahwa tuhan meringankan kayukanku dikala mendaki,
menahan kayuhanku dikala menurun, melindungiku dikala terjebak kesukaran. Layaknya
roda bumi yang berputar tiada henti, melewati terik dan sengtinya mentari.
Tiada kata lelah hingga tuhan berkata waktunya pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar