Masih
sama seperti sahur kemarin, kesiangan. Banyak faktor yang menyebabkan
kesiangan, terlebih kenikmatan Allah memberikn tidur yang sangat nyenyak, dan
Allah memberi kesanggupan dan cobaan karena kami adalah muda-mudi yang bisa
bertahan dalam menjalankan ibadah puasa meski tidak melakukan ibadah sahur. Tapi
insya Allah meskipun sahur lewat, sholat shubuh tidak boleh lewat.
Sebenarnya
tidak mengapa bagi kami bila tidak sahur, namun ada rasa tidak enak pada Karo
yang menampung kami di rumahnya, bahkan terbesit di dalam kepala rasa mencibir
diri sendiri, di rumah orang kok bisa-bisanya kesiaangan. Tapi yam au gimana,
toh itupun bukan mau kami. Meski begitu, kami harus tetap semangat menjalankan
aktifitas seperti biasa, terlebih hari ini kami akan membantu Karo untuk
memanen kunyit miliknya, setelah kemarin menyisihkan daun-daunnya terlebih
dahulu.
Setelah
melaksanakan tugas hari-hari, seperti membereskan rumah, memcuci piring, hingga
masing-masing dari kami harus mencuci baju hingga saling berbagi jemuran,
bahkan bila tidak kebagian jemuran, harus rela menjemur baju di jemuran tetang
sebelah, seperti yang dilakukan si Dani kemarin. Itu karena dua anak gadis ini
memiliki kapasitas pakaian yang lebih banyak daripada pria.
Melihat
Karo dan dua anaknya tengah asyik membersihkan tungkul (sisa-sisa akar di badan
kunyit) kunyit, kami pun langsung bergegas meluncur untuk membantu Karo. Tidak ada
pekerjaan lain yang dilakukan Karo selain berladang, lading yang sengaja
dilestarikan oleh anak-anaknya ini memang dibuat untuk mengisi waktu lengang
ibu mereka. Karena mereka tahu bahwa sangat bosan sekali bila harus berdiam
diri terus menerus di dalam rumah dengan tiga kamar dan hanya sendirian. Maka dari
itu, Karo setiap harinya selalu ada saja kegiatan dari pagi hingga waktu beliau
lelah untuk beristirahat, tidak ada yang mendesaknya, seperti kerja sebagai
pegawai di dalam kantor.
Panen Kunyit |
Karo dan Mak Hamzah; Panen Kunyit |
Setelah
membantu Karo dan dua anaknya memanen kunyit, terik siang kami berpamitan untuk
pergi ke masjid demi sholat zhuhur berjama’ah dan tak lupa berpamitan bahwa
kami juga ingin pergi ke sungai yang letaknya lumayan jauh dri masjid. Karena ketika
kemarin aku dan Tari ikut ibu-ibu perwiridan menghadiri zikir akbar, si Dani
sudah terlebih dulu menyinggahi sungai bersama anak-anak di desa.
Setelah
menempuh jalanan yang menurun dan melewati lading sawit dan hampir tidak ada
penduduknya, tibalah kami di sungai yang masih sangat alami, belum banyak
dicampurtangani oleh manusia, sebab sungai ini menjadi salah satu tempat warga
untuk mandi, atau bahkan digunakan oleh anak-anak untuk bermain. Sungai ini tak
jauh beda dengan sungai Sembahe yang kemarin kami kunjungi, namun sejujurnya
sungai ini juga patut dijadikan objek wisata.
Sungai Sukadame |
Dilengkapi
dengan batu-batu alam yang masih sangat alami sekali, terlihat bahwa kebanyakan
bebatuan yang tergenang air mengalami pelumutan, pertanda bahwa air terus
mengalir, tanpa ada gesekan lain selain air tersebut. Di sisi kanan kiri sungai
pun masih dipenuhi pepohonan, seperti pohon beringin bahkan pohon bambu. Airnya
yang sangat dingin membuat kami betah dan ingin sekali berlama-lama.
Sebenarnya
kedatangan kami ke sungai bukan untuk mandi, namun hanya ingin memastikan bahwa
di desa Sukadame juga memiliki sungai yang indah dengan perjalanan tempuh yang
lumayan melelahkan bila kembali ke desa, bila pergi tadi ditempuh dengan
menurun, maka untuk pulang harus mendaki, sangat melelahkan, terlebih bagi
orang seperti kami yang jarang sekali mendaki.
Tim Safari Ramadhan @Sukadame Nesya, Tari, Dani |
Selama
di sungai, kami serasa berada di depan kamera dan ditonton banyak orang di rumah
lewat televise. Bagaiman tidak, aku, Tari dan Dani berlagang seperti di
ustadz-ustadz di televise yang menyampaikan kultum yang bagroundnya sungai atau
biasanya di tempat-tempat yang indah. Si Dani, lihai sekali berceramah dengan
gaya bicara ala ustadz kondang di televisi di depan kamera handponeku yang sengaja
aku abadikan menjadi video, begitu juga dengan Tari yang beberapa kali
mengalami take ulang, hingga menimbulkan beberapa gelak tawa dari kami, pun juga
aku. Namun ketika aku tengah berceramah, di tengah isi ceramahku muncul seorang
bapak dari belakang kami. Apa yang dia lakukan?
Dia
berjalan perlahan, memandangi kami dengan bahasa mata yang penuh tanda tanya,
dan dan paling mengejutkan adalah bapak itu tidak memakai sehelai benang pun di
tubuhnya. Antara takut dan lucu berkecamuk. Takut bila terjadi apa-apa,
terbesit di otak bahwa bapak itu adalah orang tak waras, yang bisa saja
mengganggu kami namun mana mungki orang gila bawa motor dan memarkirkannya di
tepi sungai. Dan lucu, ketika harus menahan malu pada diri sendiri, kok kami
jadi yang malu? Kan bapak itu yang tidak pakai celanan dan baju. Yaiyalah, malu
bila harus melihat begituan.
Dan
akhirnya kami memutuskan untuk pulang, karena tidak nyaman berlama-lama di sana
jika harus disuguhkan dengan pemandangan yang begituan. Setibanya di rumah, aku
masih melakukan kegiatan favoritku setiap hari, memandikan Hamzah dan Nunun. Waktu
kami tingga dua hari hari, aku bakal merindukan suasana seperti ini, memandikan
adik-adikku yang lucu-lucu ini.
Setelah
ini bergegas memasak untuk keperluan berbuka puasa, kami juga ingin memasak
bubu kacang hijau. Setelah dimasak, ternyata kacang hijaunya masih keras, semua
karena ulahku, memasukkan santan ketika kacang hijaunya belum pecah. Ah dasar
aku ini, sok pintar masak. Aku sempat menangis, menyesal bila melihat kedua
teman sejawatku tidak bisa merasakan nikmatnya makan bubur kacang hijau, hanya
kerana kebodohanku. Maafkan aku ya teman-teman.
Dan
suasana masih saja beku, Dani juga tak henti meledekku hanya karena aku murung
dan tak ingin bicara. Semua karena aku merasa bersalah. Tapi setidaknya
ledekan-ledekan Dani itu bisa sedikit mencairkan suasana berbuka yang tinggal
beberapa hari lagi kami jalani. Semua harus dilalui dengan senyuman, lain kali
kalau tidak tahu ya bertanya, jadi tersesat begini kan. Padahal sudah ada
pepatah yang mengatakan, “Malu bertanya sesat di jalan.” Namun bagi orang yang
sedang dilanda mabuk cinta juga mengatakan “Malu bertanya, ya jalan-jalan.”
Nah,
ini malam adalah saat yang ditunggu-tunggu. Mendengar Ustadzah Tari
mendendangkan ceramah di mimbar masjid. Setelah satu harian berlatih, begitu
juga ketika berada di sungai tadi siang, Tari tak henti berlatih ceramah di
depan kami, serasa kami adalah jamaah ketika itu. Setelah sholat isya usai,
tiba-tiba lampu listrik padam lagi, dan mengakibatkan Tari harus ceramah tanpa
menggunakan pengeras suara, dan juga ceramah yang hanya bertemankan cahaya
lampu duduk. Namun itu juga tak menyurutkan antusias warga untuk mendengarkan
ceramah yang akan disampaikan oleh dara batak ini.
Di
dalam ceramahnya, sedikit terselip ragu dan gugup. Namun ia tetap bisa
melewatinya. Dan besok adalah hari terakhirnya kami tarawih di desa Sukadame,
sedih harus meninggalkan mereka namun juga senang karena akan berjumpa keluarga
di Medan.
Bersambung…>>
Karena gonta-ganti template. Semua komentar di post ini hilang. Silahkan tinggalkan komentar ya ^^ Terimakasih untuk komentar anda di postingan ini :)
BalasHapus