Alhamdulillah,
sudah sampai di hari ke sembilan selama berada di desa yang kami sebut
kampung ramadhan. Kenapa kampung ramadhan? Padahal di desa tersebut mayoritas
non-muslim, bahkan muslimnya sangat sedikit sekali. Justru karena itulah,
karena dengan minimnya masyarakat muslim di kampung ini, kami bangga
menyebutnya kampung ramadhan. Bagaimana tidak, masyarakat di desa ini masih
antusias dengan aktifitas-aktifitas yang mencerminkan bulan ramadhan, padahal di
sekitar mereka bertebaran warung-warung makan non-muslim, bertebaran
godaan-godaan lainnya yang bisa saja menggoda masyarakat muslim yang minim ini
untuk meninggalkan kegiatan di bulan ramadhan.
Gelar
kampung ramadhan ini juga didasari karena masih terasa sekali jiwa-jiwa muslim
yang berpuasa, meski banyak anjing yang menggonggong liar sekali. Bahkan dengan
antusiasnya masyarakat di kampung ini, terasa menutupi bahwa di kampung ini
adalah minim muslim, bahkan terlihat seperti mayoritas muslim, itu semua karena
kesolidaritasan mereka dalam membangun Islam.
Di
tanggal 23 juli 2013 ini adalah hari terakhir kami untuk melakukan kegiatan di
desa ini, terakhir buka bersama, terakhir sahur dan bahkan terakhir sholat
tarawih bersama. Sedih sekali, tapi bagamanapun setiap pertemuan adalah
perpisahan dan perpisahan adalah awal dari pertemuan. Dan aku percaya bahwa
nanti aku, Tari, Dani dan seluruh keluarga di desa Sukadame akan bertemu lagi,
dengan aktifitas yang wow daripada sepuluh hari ini.
Hari
ini, Mak Nunun dan Bang Ambon akan mengajak kami berladang. Kata Mak Nunun sih
kami mau ke ladang untuk mengambil langsung oleh-oleh untuk di bawa ke Medan,
Asyik… Wah, berladang, ini aktifitas yang pertama sekali aku lakoni, mengingat
aku tidak pernah berladang sama sekali, bahkan melihat persawahan padi yang
membentang luas dan hijau saja aku terlalu kemaruk, rasanya ingin
foto-foto terus, karena aku merasa tengah berada di antara para petani yang
telah menghidupi rakyat Indonesia. Karena, apa jadinya Indonesia tanpa beras,
dan apa jadinya beras tanpa petani, begitulah kira-kira.
Sempatin Berpose di Pepadian |
Tidak
seperti yang aku duga, perkiraanku letak ladang yang Mak Nunun maksud itu hanya
sekedar beberapa langkah dari kediaman kami. Ternyata, jauh sekali. Terlebih aku
yang tidak bisa menempuh perjalanan jauh dengan menaiki kaki, wajarlah aku ada
sedikit sakit asma yang masih ringan sih, belum sampai akut, jangan
sampai deh. Perjalanan dimulai dengan melintasi pepadian yang hijau
membentang, diikuti dengan persawahan jagung yang masih muda, belum siap panen.
Eksis Juga di Ladang Jagung |
Kami
berangkat tanpa ditemani si Nunun, karena kami harus berangkat ke ladang pagi
sekali, dan si Nunun harus pergi ke sekolah TK nya, yang kebetulan letak TK nya
itu berada tepat di depan rumah Karo, rumah yang kami naungi selama sepuluh
hari ini. Kenapa pagi sekali? Karena cuaca akan cepat sekali terik, bisa-bisa
kami pingsan di jalan, belum lagi jalannya itu mendaki, wah bayangkan betapa
lelahnya ketika itu, mendaki gunung dalam keadaan puasa. Bahkan ketika sudah
sampai di puncak, ada kebanggaan tersendiri.
Landscape dari atas bukit |
Untuk
menempuh pucak kami harus melewati banyak kebun, hanya untuk sampai di kebun
sawit. Sebenarnya hari ini adalah waktunya Bang Ambon panen sawit. Jadi sekalian
menyinggahi ladang mereka yang lain untuk menghadiahi kami oleh-oleh pulang ke
Medan. Kami melewati kebun pisang, kelapa, papaya, durian, manggis, petai,
jengkol, jagung, cabe dan ladang sawit milik warga lain. Dan yang aku sesalkan
duriannya belum matang, jadi tidak bisa dijadikan oleh-oleh, sayang sekali.
Nah,
setelah mengelus dada karena hampir lelah dan menyerah. Sampailah di ladang Sawit.
Aku, Tari dan Dani membantu Bang Ambon memanen sawit, setidaknya memasukkan
biji sawit ke dalam karung goni.
Bang Ambon Panen Sawit |
Eksis Juga Meski cuma Ngebantuin ^^ |
Setelah
panen sawit selesai, barulah Mak Nunun dan Bang Ambon mengajak kami berkeliling
ladang lainnya, kami diajak untuk mengambil cabe, untuk sampai ke ladang cabe
kami harus menempuh jalanan yang sangat ekstrim, bagaimana tidak, untuk menuju
ke sana itu tidak ada jalan setapak sama sekali, kami harus meraba jalan tanpa
bantuan apapun, dan itu posisinya mendaki, salah injak bisa-bisa terpeleset dan
jatuh terjungkal. Dan setibanya di atas, ternyata cabenya belum berbuah hanya sedikit
sekali, tidak layak untuk dipanen. Akhirnya kami menunggu di pondok dan Mak
Nunun mencari cabe di ladang yang satunya lagi.
Selama menunggu di pondok, tidak ada
rasa bosan sama sekali, berasa mahasiswa pecinta alam yang tersesat di gunung,
tidak ada manusia lain selain kami. Tidak bosa karena ada si Hamzah, selama di
pondok si Hamzah tak hentinya menjaili aku, mencubiti hidungku. Katanya galang,
haha (galang=panjang). Emangnya hidung pinokio apa ya.
Hidungku bukan Hidung Pinokio, Zah :/ |
Dan
setelah itu, si Hamzah melihat ada sungai kecil yang dialiri ikan-ikan kecil,
kemudian ia langsung menanggalkan pakaiannya dan langsung terjun ke sungai
untuk mengambil ikan-ikan tersebut dengan mangkuk yang tersedia di pinggir
sungai kecil itu. Lucunya, si Hamzah tidak melepaskan kopiahnya sama sekali,
pemandangan ini terlihat lucu dan menggemaskan sekali.
Nangkap Ikan Kitik Pakai Kopiah, haha |
Setelah
beberapa lama menunggu barulah Mak Nunun datang membawa dua tangkai pisang
untuk dibagi bertiga, aku Tari dan Dani.
Asyik.. Dapat oleh-oleh :) |
Selain
oleh-oleh ini, kami juga dibawakan cabe rawit, pepaya, dan kelapa tua. Setelah selesai
mengambil oleh-oleh untuk kami, kami harus bergegas kembali ke rumah untuk
sholat zhuhur. Namun ternyata perjalanan pulang lebih melelahkan daripada pergi
tadi. Jadi, setelah sampai di pertengahan perjalanan kami singgah di pinggir
bukit untuk merebahkan sedikit persendian yang mulai pegal. Dan tak lupa untuk
mencari signal, karena bila sudah tiba di rumah pasti tidak akan ada signal
lagi. Seperti yang dilakukan si Dani ini.
Nyari Signal di Bukit Sukadame ~ Dani |
Dan
sembari menunggu lelah yang mereda, aku menyempatkan diri untuk membuatkan di
Hamzah mahkota yang terbuat dari daun ubi. Lucu sekali. Ia seperti pangeran,
maka dari itu aku menyebutnya pangeran kitik Sukadame. Kitik artinya kecil.
Pangeran Kitik Sukadame |
Setelah
tenanga kembali pulih, kami pun kembali ke rumah dengan membawa semua yang
telah kami panen, termasuk sawit.
Hamzah Juga Kuat ~ katanya ^^ |
Bekas Tentara Gak Jadi nih, Uda Biasa angkat beban berat |
Senangnya
bisa bertemu dengan keluarga sebaik keluarga Bang Ambon dan Mak Nunun. Dan ada
yang lebih menyenangkan lagi sekaligus mengharukan.
Pelepasan yang Mengharukan :( |
Ketika
malam terakhir di Masjid Al-ikhlas, usai sholat tarawih berjama’ah, para warga
melepas kami dengan berdoa bersama, menyalami kami, berputar seperti ketika
dulu aku masih di aliyah, ketika memperingati hari guru, pasti para murid
menyalami semua guru-guru secara bergiliran. Nah, seperti itulah suasana malam
itu, mengharukan sekali ditemani dengan nyanyian shalawat badar yang dibawakan
oleh ustadz tertua di masjid tersebut. Aku bakal rindu suasana ini,
kekeluargaannya terasa sekali.
Bersambung…>>
Karena gonta-ganti template. Semua komentar di post ini hilang. Silahkan tinggalkan komentar ya ^^ Terimakasih untuk komentar anda di postingan ini :)
BalasHapus