Tidak
akan ada habisnya jika kita membahas tentang kemerdekaan. Karena hakikat
kemerdekaan adalah “Kebebasan” dan bagi mereka yang mengaku merdeka hanya
mereka yang memang sudah merasa bebas tak terbelenggu. Belenggu? Mungkin jika
ditanya pada masyarakat yang jauh di ujung mata dan jauh di ujung telinga,
mereka akan mengatakan bahwa belenggu itu adalah kemiskinan yang nyata, mereka
akan mengaku belum merdeka karena “perut” mereka terasa terusik. Bagaimana
tidak? Itulah kenyataannya.
Dan
tidak akan ada habisnya membahas soal koruptor yang melanglang buana di seisi
kota, tidak akan pernah ada gunanya! tapi senyum kecil nan riang para bocah
pingiran kota adalah kemerdekaan, bagi orangtuanya. Biarlah, pun itu yang
seharusnya kita katakan pada mereka. Ambillah, ambil saja semua, jikalau tanah
peninggalan nenek buyut kami mampu mengenyangkan perutmu, ambillah, tapi jangan
ambil senyum mereka. Senyum bocah-bocah yang mampu menularkan virus riang bagi
keletihan ibunya, menularkan semangat juang bagi retaknya tulang punggung
ayahnya.
Di
sudut kota terlihat sang saka merah putih terbentang berkibar tersayup angin, itukah
merdeka? Ketika bendera mampu berkibar di atas puncak tiangnya. Senyum para
bocah di ujung desa terlihat lebih sumringah dibandingkan dengan kepakan
bendera mewah tersebut. Bagaimana tidak, pasalnya bocah-bocah tersebut tulus
menyambut kalahiran Indonesia dengan hati yang bersih, jauh dari raup korupsi. Tak
pernah terbayangkan oleh mereka bahwa jatah makan siang mereka sudah masuk ke
perut para tikus kantor. Pun itu tidak membuat senyum mereka lepas sedikitpun,
bagi mereka kemeredekaan adalah kebahagiaan tanpa usikan yang nyata.
Lengkingan
tawa riang terdengar jelas, lewat kemeriahan perayaan 17 Agustus-an yang
dirayakan di pelosok desa negeri ini. Semangat berkobar layaknya pahlawan di Medan perang, layaknya semangat para koruptor membabat apapun yang bisa dimakan. Bocah berhati tulus ini tak pernah hiraukan itu, baginya semangat menyambut kelahiran Indonesia adalah apresiasi cintanya. Seperti yang aku katakan, pada hari itu
Indonesia terlihat benar-benar merdeka, tak terbesit sedikit pun tentang perut
yang nanti akan merongrong minta diisi, terpenting adalah ikut merayakan
kelahiran Indonesia dengan senyum sumringah, dengan harapan senyum dan tawa itu
akan bertahan hingga para koruptor punah.
>> Dari
bibir anak bangsa akan tetap terdengar kata merdeka, tergambar semangat merdeka lewat tangan akan tetap terkepal
untuk melawan penjajahan diri. Bukan di sana, di bibir dan kepalan tangan para
koruptor. Tapi di sini, di bilik rumah sederhana, bernama hati yang bersih. Dirgahayu Indonesiaku ke-68, terus pancarkan semangat juang para pahlawan.
Karena gonta-ganti template. Semua komentar di post ini hilang. Silahkan tinggalkan komentar ya ^^ Terimakasih untuk komentar anda di postingan ini :)
BalasHapus