Momen
Tak Terlupakan Dikala Hujan Menjelma
Penulis:
Ginanjar Teguh Iman
Penerbit:
Penerbit Antarnusa
Cetakan:
I, 2012
Tebal:
120 Halaman
ISBN:
978-602-18405-0-4
Angin
ingin memburu, membuat percikan deras hujan itu kini menampar-nampar kaca
jendela. Beberapa percikan bahkan merembes masuk membentuk butiran lembut air
menembus lapisan kaca yang tebalnya nyaris mendekati satu sentimeter dan
membuat pandangan di luar menjadi kabur terkabut hujan. (Hujan, h. 13).
Begitulah Ginanjar mendeskripsikan hujan, ketika percikan hujan menyinggahi
jendela dan membuatnya buram hingga pemandangan di luar jendela akan terlihat
kabur, hal ini merupakan peristiwa alamiah ketika hujan datang. Karena di
setiap partikelnya yang jatuh ke bumi selalu ada cerita yang mustahil untuk
diabaikan.
Ginanjar Teguh Iman dalam bukunya “Cerita Hujan; Selalu Ada Cerita di Balik Derasnya”
bukan hanya sekedar menceritakan betapa hebatnya hujan yang mengguyur bumi,
terlebih ia mendeskripsikan secara detail, apa-apa yang terjadi dikala hujan
datang dan apa-apa yang terjadi dikala hujan pergi. Dan tidak ada yang paling
mengasyikkan selain waktu antara fajar dan pagi, setelah malamnya dipenuhi
hujan. Kita tahu itu apa. Laron! (Laron, h. 32). Jadi, kalau tiba-tiba petir
menggelegar datang, maka cepat-cepatlah memeluk orang yang kita sayang sebelum
hujan membawa ia lari (Takut Hujan, h. 49)
Buku
antologi dengan tebal 120 halaman ini memiliki sepuluh cerita yang memukau di
dalamnya, diantaranya Hujan, Laron, Bertemu Rindu, Takut Hujan, Rosa’s Rose,
Six Feet Under Conversation, Cokelat Panas, Mencintaimu Itu Seperti Hujan,
Payung Biru, Hantu Hujan. Buku yang merupakan buku pertama yang berhasil
diterbitkan sendiri oleh penulisnya ini berisi tulisan-tulisan usang yang
nyaris hilang lalu ditulis ulang, namun dengan kelihaiannya mendeskripsikan
hujan, pria penyandang Labiopalatoschizis ini mengemas apik
peristiwa-peristiwa tak terlupakan menjadi cerita yang patut untuk konsumsi di
kala hujan menjelma, pun jika hujan tidak turun atau bahkan sudah berhenti,
maka anggap saja ini adalah cerita-cerita yang pernah mengirinya. Bahkan jikalau
buku ini bukan di baca dikala hujan turun, maka rasakanlah rinai-rinai hujan
yang menyentuh lembut kulitmu, karena di setiap kata dalam buku ini akan membawamu
merasakan benar-benar menjadi tokoh utama di dalam setiap ceritanya.
Dan
dengan cover buku yang juga penulis desain sendiri menggambarkan siluet antara
dua muda mudi yang berdiri di bawah hujan. Bayangkan betapa tidak mungkinnya
ada momen siluet di bawah rinai hujan, namun begitulah Ginanjar mendeskripsikan
hujan, bahwa apapun yang dilakukan hujan, semua pasti mungkin untuk dirasakan,
kadang deras, kadang rintik-rintik, atau kadang tidak turun sama sekali. Dan seperti
itulah cinta. (Mencintaimu Itu Seperti Hujan, h. 85)
Meskipun
ada beberapa cerita yang tidak menggunakan unsur hujan di dalamnya, seperti
cerita “Cokelat Panas”, namun cokelat panas di sini mampu membuat pembaca
merintih haru merasakan indahnya persahabatan antara dua pria yang mencintai
satu gadis yang sama, lalu benarkah persahabatan lebih mengalah demi cinta? Meski
cinta itu benar-benar menguasai ulu hati? Rasakan betapa indahnya persahabatan,
seperti indahnya menanti hujan tepat pukul dua siang dengan payung biru di
taman.
Bagi
kamu pecinta hujan, peresensi benar-benar merekomendasikan buku ini untuk kamu
miliki, masukkan ini di list buku favoritmu. Karena dimana lagi kamu bisa
menemukan buku yang membuatmu termangu, tersenyum, haru dalam setiap kata yang
kamu baca, bahkan ketika kamu tidak sadar bahwa setiap halamannya sudah habis
kamu lahab, kamu pasti akan kembali ke halaman awal untuk kembali mencicipinya,
karena betapa indahnya hujan dalam Cerita Hujan ini. Rasakan sensani bermain
hujan, tidak memakai sandal, bertelanjang dada bagi pria, memejamkan mata dan
menengadah tangan, cukup dengan membaca buku ini, Rasakan.
Peresensi:
Rezita Agnesia Siregar, Mahasiswa jurusan Hukum Perdata Keluarga di IAIN
Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar