Seperti senja ini, Seminggu yang lalu. |
Ini
bukan tentang Awan. Ini tentang Puisi yang aku temukan di antara rinai Hujan di
pelataran Pantai. Aku mulai berfikir, apakah tulisan ini harus aku letakkan di
label Cerita Cinta atau tidak. Entahlah. Yang pasti aku masih mengucek mata,
mencubit sebagian dari kulit lenganku atau bahkan sesekali menampar pipiku,
mimpikah aku seminggu ini? Kenapa terlihat begitu nyata. Seolah aku mampu
menyentuh raganya, seolah aku merasakan hangat peluknya. Dan di imajiku, aku
masih mengingat bisikan itu.
Yah,
bisikan. Bisikan yang dengannya aku tidak ingin terbangun, bisikan yang
dengannya aku selalu merasa terjaga sekalipun aku sadar bahwa aku tengah
bermimpi. Bisikan yang dengannya aku mati-matian mencari redaksi kata untuk
menjawab bisikan itu.
Kala
itu, senja membawaku menari, berlari menghampiri puisi. Di antara deburan ombak
dan rinai hujan yang berlawanan, aku mulai tertidur. Dan seketika mimpi itu dimulai.
Harapan-harapan yang kian menjalar dan berkecambah membuatku terlelap sembari
tersenyum. Bagaimana aku tahu kalau aku sedang tersenyum? Bukankah aku tengah
terlelap? Tapi tanpa sadar aku menyadari bahwa ada sesuatu yang terjaga,
melihatku dari sisi yang entah dimana bisa kujumpai.
Mimpi
ini seperti mimpi di dalam mimpi, aku sulit mendefenisikannya. Di dalam mimpi
aku menemukan sapa pagi yang menyeringai senyum tipis, sapaan yang tak pernah
aku dapati sejak kejadian tragis yang membuat sebuah nama terukir indah di
nisan hati. Haaa, aku merasakan kehidupan tengah berjalan di alam mimpi, setidaknya
hanya untuk senyum sapa di pagi hari.
Alur
cerita dimulai, aku fikir akulah yang menskenariokan kisahnya, aku yang membuat
alur cerita terasa amat bahagia, karena ini mimpiku, aku yang membawa alur
kemana hendak kubawa mimpi ini. Tapi heeii, siapa itu? Pemeran utama merusak
semuanya. Iya, aku baru sadar bahwa pemeran utama yang aku indahkan laksana
puisi penyejuk di pagi hari ternyata mempunyai skenarionya sendiri. Aku rasa
dia juga tengah berlari menghampiri mimpi, agaknya dia salah menghampiri hingga
merusak mimpi-mimpi semingguku ini.
Dari
senja hingga purnama membundar, aku masih terlelap bersama mimpi-mimpi bahagia.
Masih dengan dengan sapaan pagi yang menyenangkan, masih dengan skenario indah
yang kami ciptakan. Hingga saat seminggu itu berlalu, saat fajar jelang
meninggi, aku terbangun dan tersadar. Bahwa bukan aku atau si pemeran utama ini
yang menskenariokan kisah di dalam mimpi ini. Yah, ada Zat yang berhendak di
atas segalanya. Yang memberikan mimpi dan membangunkannya kembali.
Tapi
ini bukan mimpi, ini nyata. Aku serius, ini nyata… sungguh pipiku sakit terkena
tamparanku sendiri. Berarti ini nyata kan? Lalu apa guna mimpi itu seminggu
bersemayam di mimpiku? Pun jika ini mimpi, lalu kenapa aku Engkau bagunkan? Aku
baru saja menyiapkan redaksi kata untuk menjawab bisikan Sang Puisi. Baru saja.
Aku
mencoba memejamkan mata, berharap mimpi itu datang lagi, sayangnya batas
bahagia mimpi itu hanya seminggu. Yah, seminggu mimpi yang bahagia.
Aku
tulis ini tepat saat fajar jelang meninggi, saat harapan mimpi baru mulai
sirna.
Tapi
adanya senyumku tetap sebab adamu J
12
Oktober 2014 Sejak 5 Oktober lalu..
(y)
BalasHapusTumben komeeen, sekali komen cuma (y) pula ihh
Hapushibernasi tidur seminggu? :p
BalasHapuskata-katanya puitis ya, aih
Seakan tidur, tapi tidak tidur..
HapusHai Sobat :D
BalasHapusKamu dapat Liebster award lho, cek disini ya http://adqkurnia.blogspot.com/2014/10/yaaayy-dapat-liebster-award.html ^^
Wahh terimakasih :))
Hapuspuisinya ditemukan di kompor rinai, keren nih, untungnya gak terbakar oleh lara hehehe
BalasHapuskeyen diksinya ini, slam kenal yaa
susah buat seperti ini ajarin dong :(
Tergantung suasana hati kak.
Hapus