Teringat dua tahun lalu menghadiri event beauty di Jakarta. Megah banget, namanya ibukota. Kota metropolitan dengan segala polemik di dalamnya. Kota dengan tingkat pergerakan manusia yang sangat tinggi. Kota yang melatih masyarakatnya untuk terus memikirkan solusi dari masalah yang tidak kunjung berhenti, terus ada setiap hari. Pesatnya pertumbuhan Jakarta sampai menjadi salah satu kota sibuk di Asia Tenggara dan menduduki peringkat Sembilan sebagai kota terpadat di dunia versi World Economic Forum, membuktikan begitu besarnya beban yang ditanggung masyarakat Kota Jakarta.
Kepadatan penduduk 9.600 orang tiap satu kilometer persegi menggambarkan sesaknya Ibu Kota Negara kita ini. Jakarta itu padat banget dengan kendaraan pribadi, aku sih menyaksikan sendiri. Ternyata benar apa yang aku saksikan di televisi. Beberapa faktor Jakarta terasa begitu sesak ya karena polusi dan jumlah kendaraan yang terus saja bertambah dan tidak pernah dapat kita prediksi kapan tren menambah jumlah kendaraan pribadi ini akan berakhir. Sepertinya kendaraan di Jakarta sudah sama padatnya dengan jumlah penduduk Jakarta. Miris? Pasti.
Tingginya polusi berbanding lurus dengan bertambahnya jumlah kendaraan. Ini sebuah teori sederhana yang bahkan dimengerti oleh orang yang tidak pernah belajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat atau Ikut Seminar Hidup Sehat. Cukup dengan tinggal di Jakarta kita tahu bahwa teori ini benar adanya, dan paru-paru warga Jakarta setiap hari harus terkontaminasi polutan dengan jumlah besar. Hal ini menyebabkan potensi warga Jakarta terkena penyakit paru-paru menjadi sulit terhindarkan. Miris? Lagi-lagi, Pasti.
Kapan ya Jakarta tidak berpolusi? Kapan ya Jakarta tidak macet? Kapan ya Jakarta punya lingkungan yang bersahabat? Jawabannya, Dulu. Saat orang-orang belum membangun kebiasaan untuk berbondong-bondong memiliki dan menggunakan transportasi pribadi. Kebiasaan ini kemudian menjadi pemicu macet dan polusi yang ekstrim di Jakarta. Saat itu warga Jakarta masih menerapkan pola hidup sehat sepert berjalan kaki, naik sepeda, dan naik kendaraan umum.
Jika kita bercerita dengan mereka yang hidup di Jakarta pada era 70 atau 80-an, kita akan mendengar kisah hidup mereka di Kota Jakarta yang meski padat tapi berudara segar. “Ya bedalah. Sekarangkan sudah modern, kota ini terus berkembang dan kebiasaan jalan kaki atau naik sepeda sudah bukan jamannya. Sekarang jamannya naik motor kalau perlu mobil sport, lebih cepat dan tidak capek.” Seperti itu kah yang terlintas dipikiran kita kalau ada yang bercerita tentang pola berpindah masyarakat Jakarta Tempo Doloe? Kalau iya, mari kita diskusi.
Sekarang bayangkan jika 9.600 orang tiap satu kilometer persegi memiliki motor mereka masing-masing, atau setidaknya setengah dari mereka memiliki motor pribadi yang artinya tiap satu kilometer persegi ada 4.800 motor. Jakarta memiliki luas 661,5 kilometer persegi, maka total motor di Jakarta jika setengah penduduk tiap satu kilometer persegi memiliki motor adalah 3.175.200 motor. Banyakkan?
Coba bayangkan polusi dari lebih dari tiga juta motor itu. Mengerikan? Ya iyalah. “Tapi itu kan cuma asumsi kita lewat matematika sederhana, memangnya motor di Jakarta sebanyak itu?” Ayo kita lanjut ke data sebenarnya. Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat pernah menyampaikan bahwa berdasarkan dari data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta tahun 2015 jumlah kendaraan roda 2 (motor) tercatat ada sebanyak 13,9 juta. Lebih banyak 10 juta-an dari asumsi kita, dan itu baru tahun 2015.
Apa kabarnya dengan jumlah motor di tahun 2019 ini. Hmm. Kalau kata Afgan featuring Bang Rhoma sih, Sadis Sungguh Terlalu.
Kita tidak bisa terus begini. Harus ada perubahan. Harus ada gebrakan baru. Kita perlu mengembalikan pola pergerakan yang ramah lingkungan seperti jalan kaki, naik sepeda atau mencoba naik kendaraan umum. Naik kendaraan umum secara nyata membuat polutan dan macet berkurang. Pembangunan transportasi umum terus dilakukan dan jadi senyaman kendaraan pribadi. Kalaupun ada pelayanan yang kurang memuaskan, ya maklumlah namanya juga lagi berproses. Memangnya Lionel Messi pas lahir langsung jadi Top Scorer di Liga Spanyol? Kan tidak Fernandes.
Pemerintah lewat Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek juga telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membantu mempercepat perubahan Jakarta ke arah lebih baik. Tinggal kita masyarakat Jakarta mau atau tidak. Gini deh, ini itu masalah ego saja kok. Soalnya kalau kita tidak berubah sekarang, beban macet, sesak dan polusi Jakarta ini akan menjadi hal pertama yang kita wariskan ke generasi mendatang.
Hal keduanya adalah air mata. Penyakit ini cukup kronis, tegakah kita membuat generasi berikutnya meneruskan penyakit ini dan merasakan sakit yang lebih parah dari kita? Aku percaya kita tidak setega itu. Cukup Rangga saja yang jahat ke Cinta, kita jangan jahat ke generasi penghuni Jakarta berikutnya. Gimana? Sepakatkan? Ayo Naik Kendaraan Umum saja. Sampai jumpa di busway atau kereta. Salam perubahan.
Eh, ngapain sih bukan orang Jakarta aja ikut-ikut campur. Lah, justru karena kitanya peduli Mba Mas. Masa orang luar Jakarta aja bisa peduli sama ibukota, kenapa masyarakat kotanya sendiri enggak
Yoklah, berbenah. Nanti kalau aku ke Jakarta lagi, ajak aku naik busway ya. Sepakat?
Kuy cek -> Tas Muslimah Garut Produk Paling Banyak di Cari Tahun 2019
BalasHapusMacetnya jakarta emang kebangetan, bikin emosi jiwa raga, kalau naik kendaraan umun so far banyak waktu yg terbuang untuk menunggu heheheh
BalasHapusThats why aku gamau tinggal di Jekardah meskipun ex boss bule dulu pernah nawarin pindah. Aku kayaknya nggak bakalan bisa menikmati hidupku kalo di sana haha
BalasHapus